AL-HIKMAH
AL-MUTA’ALIYAH – MULLA SHADRA
SUMBER
al-Hikmah al-Muta’aliyah Ada berbagai pandangan
terhadap pemaknaan hikmah, mulai al-Kindi sampai Ibn Rusyd dan konsep
puncaknya pada Mulla Shadra. Al-hikmah al-muta'aliyah, adalah konsep
baru yang ditawarkan Shadra. Kata al-hikmah al-muta'aliyah sebenarnya
sudah digunakan oleh kaum sufi dan filosof terdahulu, seperti Ibn Shina dan
Nashir al-din al-Thusi.
Meski
nama al-hikmah al-muta'aliyah bukan nama baru yang diperkenalkan Shadra,
namun konsep dan pemaknaan yang lengkap baru diketemukan dalam tulisan-tulisan
Shadra. Sekaligus, murid-murid Shadra memperkenalkannya. Pada filsafat Shadra,
tidak hanya ditemukan satu sintesis filsafat dan pemikiran Islam, tapi juga
sintesis dari pemikiran terdahulu.
Dalam
pendahuluan al-Hikmah al-Muta'aliyah, Shadra membahas secara panjang
mengenai definisi hikmah. Menurutnya, hikmah tidak hanya menekankan
sikap teoritis melainkan juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian jiwa
dari kotoran-kotoran yang bersifat material. Shadra juga menerima definisi
hikmah dari Suhrawardi, kemudian memperluasnya. Hikmah mencakup dimensi
iluminasi dan penghayatan langsung dari kaum Isyraqi serta kaum sufi.
Shadra juga memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang tinggi dan
memiliki asal-usul ketuhanan, karena berasal dari Nabi.
Ungkapan
al-hikmah al-muta'aliyah terdiri dari dua istilah, yaitu al-hikmah,
yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari filsafat, iluminasionisme
dan sufisme. Sedang yang kedua, al-muta’aliyah, yang berarti tinggi,
agung dan transenden. Dalam konsep al-hikmah al-muta'aliyah, hanya
Shadra yang menggunakannya. Sedang yang mempopulerkan adalah murid-muridnya,
baik secara langsung maupun tidak secara langsung.
Penyebutan
al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra, kali pertama
diperkenalkan oleh Abdul Razaq Lahiji (wafat 1661 M), salah seorang murid dan
juga menantu yang terkenal. Shadra sendiri tidak menyatakan secara eksplisit,
bahwa aliran filsafatnya al-hikmah al-muta'aliyah. Penyebutan istilah
ini hanya tertulis dalam karya-karyanya, al-Hikmah al-Muta'aliyah maupun
al-Syawahid al-Rububiyyah.
Setidaknya
bagi Sayyed Hossein Nasr, pengguanaan
al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra terpengaruh oleh
dua hal. Pertama, karena judul buku Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah,
menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran dan pandangan
dunia yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin metafisika Shadra. Kedua,
adanya ajaran oral dari Shadra sendiri. Shadra menunjuk al-hikmah
al-muta'aliyah tidak hanya menjadi judul bukunya, melainkan ada ajaran
moral di dalamnya.
Untuk
mengetahui konsep dan pemaknaan Shadra tentang al-hikmah al-muta'aliyah,
harus melihat Shadra dalam mendefinisikan hikmah atau falsafah.
Menurut Shadra, kedua istilah tersebut adalah identik. Hikmah atau falsafah,
dalam perspektif Shadra, berarti al-hikmah al-muta'aliyah itu sendiri.
“Kesempurnaan
jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada
sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangun
berdasar bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar prasangka dan sekedar
mengikuti orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka,
anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia terhadap) tata tertib alam semesta
sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam
rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan.”
Melihat
definisi di atas, bisa dilihat bahwa bagaiman Shadra mengkombinasikan berbagai
pemikiran. Dari yang dikemukakan oleh Ibn Sina maupun yang dikemukakan oleh
Suhrawardi. Dari definisi ini, juga kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
hikmah dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju Tuhan. Tentunya, tidak hanya
hikmah yang dapat menjadi sarana mendekat pada Sang Khalik.
Sebagai
sebuah konstruksi, pemikiran al-hikmah al-muta'aliyah tentu saja tidak
hanya dihasilkan dari konstruksi pemikiran pribadi Shadra, namun bersumber juga
pada karya-karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak dapat disimpulkan bahwa
pemikiran Shadra hanya gabungan dari berbagai karya terdahulu.
Filsafat
Shadra menjadi bagian dari filsafat perenialais, yang di dalamnya terdapat pengulangan-pengulangan
kembali tentang kebenaran yang sama dengan sebelumnya.
Ketika
Shadra masih hidup, dia sudah menerima banyak kritikan. Bahkan, pada tahap
berikutnya, Shadra dituduh telah mencuri ide-ide orang lain dengan
mengatasnamakan dirinya. Namun, arus masyarakat tidak hanya negatif, banyak
juga yang berpandangan bahwa ide Shadra adalah yang paling benar. Kelompok ini
juga memandang bahwa ide Shadra inilah yang menjadi puncak dari seluruh
pemikiran filsafat Islam. Kelompok ini berasal dari sebagian murid dan
pengagumnya.
Terlepas
dari perdebatan tersebut, setidaknya ada beberapa sumber al-hikmah
al-muta'aliyah muncul dari pemikiran Shadra. Pertama, sumber utama dari
munculnya ide al-hikmah al-muta'aliyah adalah tradisi Islam itu sendiri,
yaitu al-Qur'an. Tidak diragukan lagi kecakapan Shadra dalam bidang ini.
Pengetahuannya terhadap teks kitab suci dan penafsirannya menajdikan Shadra
berbeda dengan filosof-filosof muslim sebelumnya. Dalam mengungkapkan makna
batin, Shadra lebih mirip dengan tokoh-tokoh tasawuf dibanding dengan para
filosof sendiri. Karakteristik pemikiran Shadra sendiri, lebih terlihat
penggunaan al-Qur'an sebagai fondasi utamanya.
Pengaruh
al-Qur'an terhadap pemikiran Shadra tidak saja terpengaruh terhadap
penafsiran-penafsiran formal, tetapi hampir dalam setiap tulisannya. Hampir
setiap karya-karyanya selalu diberi penjelasan dengan Al-Qur'an, jadi al-Qur'an
tiak hanya digunakan dalam tafsirnya (Tafsir al-Qur'an al-Karim).
Kedua,
adalah hadits. Al-hikmah al-muta'aliyah juga menggunakan hadits untuk membangun
fondasi strukturnya. Bagi Shadra, hadits juga memiliki tingkatan makna-makna
esoterik yang hanya bisa disentuh dengan illuminasi spiritual. Makna inilah
yang dicari oleh pencari kebenaran.
Selain
kedua sumber tersebut, Shadra sebagai penganut syiah, al-hikmah
al-muta'aliyah juga bersumber pada ucapan-ucapan imam, terutama Imam Ali,
yang juga dianggap sebagai teks suci. Salah satu contohnya adalah khutbah Ali
tentang keberadaan wujud Tuhan. Ali mengecam bagi yang tidak mengakui keberadaan
sifat-sifat Tuhan, dan menegaskan wujud Tuhan secara murni. Bagi Ali, antara
wujud dan sifat Tuhan adalah identik. Begitu pula Shadra, ia sering
menggunakannya untuk membuktikan keberadaan wujud dan sifat-sifat Tuhan.
Kalam
syiah menjadi corak yang lain dalam pemikiran Shadra, sebuah lingkungan yang
mesti mempengaruhi pemikiran. Kalam syiah sendiri bayak yang bersifat filosofis
dan mistis. Dengan kata lain, Pemecahan segala sesuatu melalui filsafat dan
juga berusaha dipadukan dengan sufisme yang berkembang waktu itu. Tentu saja,
konstruksi al-hikmah al-muta'aliyah tidak akan pernah lepas dari
keberadaan kalam Syiah itu sendiri.
Shadra
tidak hanya terpengaruh oleh kalam Syiah saja, melainkan Mu’tazilah, Asy’ariyah
juga mewarnai pemikirannya. Para pengarang Asy’ariyah klasik, seperti
al-Ghozali dan al-Razi memiliki peran yang sangat penting dalam membangun
sistem al-hikmah al-muta'aliyah. Mu’tazilah juga memiliki peran, namun
peran Asy’ariyah lebih dominan dibanding dengan Mu’tazilah.
Dalam
bidang filsafat sendiri, Shadra sangat paham terhadap tokoh-tokoh Yunani
klasik, bahkan tokoh-tokoh pra Sokrates. Adalah hal menarik, bahwa pemikiran
pra socrates, filsafatnya bercirikan isyraqi. Bagi Shadra, tokoh-tokoh
Alexandra memiliki tradisi ilmu pengetahuan yang dekat dengan Isyraqi tersebut.
Shadra juga banyak menginterpretasikan tokoh-tokoh tersebut secara mendalam.
Namun,
pengetahuan Shadra tentang filsafat Islam lebih mendalam. Dalam sejarah aliran
peripatetik, Shadra lebih mengenal al-Kindi dibanding dengan yang lain. Akan
tetapi, kelihatannya Shadra tidak banyak terpengaruh oleh al-Kindi.
Mengenai
Ibn Sina, Shadra paling mendalam pengetahuannya. Ibn Sina bisa dibilang sebagai
sumber utama munculnya al-hikmah al-muta'aliyah. Hampir setiap buku Ibn
Sina digunakan sebagai rujukan oleh Shadra. Selain Ibn Sina, sumber utama yang
lain Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi. Suhrawardi digunakan sebagai sumber
pengetahuan, tentu saja dalam bidang aliran isyraqi.
Shadra
sendiri secara jujur mengakui kepahaman terhadap hikmah tidak lain dari
Suhrawardi. Eksposisi metafisik bisa dilihat sebagai versi lain Suhrawardi.
Bagi Shadra, kedua tokoh tersebut keberadaannya saling melengkapi. Oleh sebab
itu, tidak heran jika Shadra menyebut orang yang mencapai tingkat pengetahuan
tinggi sebagai hakim muta’allih.
Al-hikmah
al-muta'aliyah juga tidak lepas dari adanya ajaran-ajaran esoteris
Islam yang terkandung dalam ajaran tasawuf. Hampir seluruh tulisan Shadra
selalu bercorak etika dan operasional. Syair Rumi juga digunakannya sebagai
argumen intelektual.
Prinsip
Utama al-Hikmah al-Muta’aliyah
Al-hikmah
al-muta'aliyah merupakan sintesis Shadra dari iluminasi intelektual (isyraq),
penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan atau istidlal) serta
agama dan wahyu (syar’). Melalui kombinasi ketiga hal tersebut tercipta al-hikmah
al-muta'aliyah. Terlihat sekali perpaduan antara prinsip-prinsip ‘irfan,
filsafat dan agama. Di mana pembuktian-pembuktian rasionalnya selalu dikaitkan
dengan al-Qur'an, al-hadits serta ajaran-ajaran para imam kemudian dipadukan
dengan doktrin ‘irfan.
Shadra
sendiri meyakini sepenuhnya bahwa metode yang paling berhasil untuk mencapai
pengetahuan yang sejati adalah Kasyf, yang ditopang oleh wahyu dan tidak
bertantangan dengan burhan.
Bagi
Shadra, hakikat pengetahuan tidak dapat diperoleh secara langsung, kecuali atas
perantara Tuhan, dan tidak mungkin terungkap kecuali melalui cahaya kenabian
dan kewalian. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan penyucian qalb.
Menjauhkan diri dari segala hawa nafsu, mendidik agar tidak terpesona dengan
kemewahan dunia materi, serta mengasingkan diri dari keramaian. Selain itu,
merenungkan ayat-ayat Tuhan (sunatullah), merenungkan hadits nabi dan
mencontoh perilaku orang-orang saleh.
Ketika
dia menyadari kelemahan diri dan merasakan bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu
apapun, dibangkitkannyalah semangat dan berkobar qalbunya dengan cahaya yang
terang. Saat itulah, ketika seseorang dipenuhi sinar (yang merupakan dari
Tuhan), di saat itulah terbuka di hadapannya rahasia dari ayat-ayat Tuhan.
Sumber:
Mulla Shadra, al-Hikmah
al-Muta'aliyah fi al-Ashfar al-Aqliyah al-Arbaah, (Beirut: Dar el Ihya,
1981)
Nasr Sayyed Hossen Nasr
dalam Ahmad NP. (ed.), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)
Henry Corbin, Imajinasi
Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. M. Khozim dan Suhadi, (Yogyakarta: LKiS,
2002).
Issa J. Baullata, Dekonstruksi
Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2001), lihat juga Sayyed Hossen Nasr dalam
Ahmad Norma Permata (ed.), Op.Cit., hlm. 143
Fritjoff Schoun, Filsafat
Perenial, (Bandung: Mizan, 1995)
Salam Cahaya – Komunitas Cahaya