Menurut Prof. Dr. Ir. R.W. Van Bamellen,
geolog asal Belanda mengatakan, lebih kurang 500 tahun yang lalu keadaan kota
Semarang jadi berbeda dengan sekarang. Dikala itu garis pantai masih jauh
menjorok ke dalam hingga ke kaki bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunung Sawo
Simongan dan bukit-bukit lain sekitarnya. Seiring dengan berjalannya waktu
terjadilah pendangkalan dan endapan lumpur hingga timbullah suatu dataran baru
yang kemudian hari dikenal sebagai kota bawah dari kota Semarang. Sebab itulah dikatakan
unik dan indah karena terbagi dalam dua bagian yaitu bagian atas dan bagian
bawah.2
Dengan kondisi geografis yang demikian, ada
seorang isteri pejabat VOC, Meur B-P ( Nyonya B-P ) menyebut Semarang dengan,
“een Oosterchs Venetie! Schimmen, glinstering,…bekoring!” ( sebuah Venesia dari
negeri Timur—yang teduh, berkilauan…indah menawan! ).3
Ada beberapa pendapat dari para sejarawan
mengenai asal-usul nama Semarang, yaitu ;
Berdasarkan penyelidikan sejarah yang
dilakukan oleh C. Lekkerkerker dari Nederland Java en Bali Instituut,4 asal
mula nama Semarang diambil dari perkataan Asem-Arang. Alasannya banyak
nama-nama tempat di Indonesia dinamakan sesuai dengan keadaan dan kondisi
daerah yang bersangkutan. Seperti halnya Banyumas berasal dari perkataan Banyu-Amis.
Kemudian Salatiga berasal dari perkataan salah tiga. Konon ada tiga orang yang
salah, yaitu merampok Ki Ageng Pandan Arang II dan isteri. Dalam perjalanannya
menuju Gunung Jabalkat untuk “ber-‘uzlah” dari gemerlapnya harta duniawi atas
perintah gurunya, Sunan Kalijaga.
Merujuk dari keterangan diatas, pada zaman
dulu Semarang banyak ditumbuhi pohon asem yang keadaan daunnya jarang-jarang
atau tidak nggempiok ( rimbun ). Maka tempat ini disebut Asem-Arang. Lama
kelamaan untuk menggampangkan omongan berubah menjadi Semarang seperti
sekarang.
Sejalan dengan pendapat Lekkerkerker, D. Van
Hinloopen Labberton juga menunjukkan adanya tempat-tempat yang mempunyai nama
dengan menggunkan kata-kata arang dan kerep, seperti Jatingarang, Pelemkerep,
dan Gempolkerep.5
Menurut Raden Mas Ngabehi Tjokro Hadiwikromo,
Semarang berasal dari perkataan Semaran atau Kasemaran. Yakni, nama kediaman
resmi Kyai Ageng Kasemaran, nama lain Ki Ageng Pandan Arang. Karena beliau
menikah dengan Endang Kasmaran alias Endang Sejanila.6 Perkataan Kasemaran
sendiri kemudian diperpendek menjadi Semaran yang pada akhirnya berubah menjadi
Semarang. Dikarenakan, orang-orang Belanda jika melafalkan an selalu berubah
menjadi ang. Misalnya, ketika mengucapkan Palimanan menjadi Palimanang, Kopen
menjadi Kopeng dan lain sebagainya.
J. Hageman Jcs menuliskan,7 pada tahun 1207
tahun Jawa ada dua orang Pangeran dari Kerajaan Pajajaran, yaitu Raden Tanduran
dan Siyung Wanara terlibat peperangan sengit di sebelah Barat Semarang.
Tepatnya di Tugu Rejo (dahulu masih masuk dalam wilayah Kendal). Untuk
mengenang peristiwa sekaligus mengakhiri Civil War8 itu, maka dibangunlah
sebuah “monumen perjanjian” yang dinamakan Tugu. Dengan kesepakatan, tanah Jawa
sebelah Timur dari tiang batu itu—dinamakan Majapahit—menjadi milik Raden
Tanduran. Sedangkan tanah Jawa sebelah Baratnya—dinamakan Pajajaran—adalah
milik penuh dari Siyung Wanara.
Hageman menyimpulkan, nama Semarang berasal
dari Ka-Semaran dan Semaran, artinya kediaman Semar. Akan tetapi Hageman juga
mempunyai pendapat lain. Menurutnya, Semarang justru berasal dari kata
Harang—untuk yang lebih halusnya—orang menyebut dengan Arang. Yang berarti
mahal atau jarang. Dalam bahasa Jawa Krama, nama Semarang disebut Semawis atau
Samahawis. Berasal dari perkataan Hawis atau Awis, yang berarti sama mahal atau
sama asing.
Dari beberapa pendapat diatas, yang lebih
faktual adalah yang menyebutkan nama Semarang berasal dari kata-kata asem dan
arang. Alasannya adalah :
Pertama, di kota Semarang dahulu kala banyak
tumbuh pohon asam (sekarang pun masih bisa kita lihat meski hanya beberapa
gelintir).
Kedua, khususnya di tanah Jawa, cukup banyak
nama kota yang menggunakan asem sebagai nama awal. Yaitu, Asembagus (pondoknya
Alm. Kyai As’ad di Situbondo), Asembawang dan Asemkandang (keduanya berada di
Pasuruan), Asemgajah (dekat Juana), Asem Legi (±18 km dari Solo).
Ketiga, pemberian nama tempat dengan
menggunakan nama pohon asam telah ada 10 abad yang silam. Berdasarkan prasasti
yang dibuat atas perintah Raja Balitung. Berupa piagam tembaga bertahun 827
Saka (905 Masehi), menuturkan adanya sebuah desa Asampanjang (Pangurang I wka I
sama lagi watak asampanjang—pangurang di Wka (Baka)—tuan Sanjat penduduk di
Samalagi daerah Asampanjang). Drs. M. Soekarto menambahkan, desa tersebut
sebenarnya masih ada, hanya saja telah berubah nama menjadi desa Sendawa, yang
berasal dari kata-kata Asem-Dawa.9
Layaknya sebuah kota, minimal harus mempunyai
empat unsur utama. Yaitu, ada wilayahnya, ada penduduknya, adanya pemerintahan
dan kedaulatan (yakni kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahannya).
Karenanya, lahirnya kota Semarang menjadi polemik tersendiri (berdasar pada
saat kapan untuk pertama kalinya sebuah kota mempunyai empat unsur diatas
sebagai sebuah totalitas).
Sebagaimana kita ketahui, yang dinamakan
Semarang awalnya adalah daerah pegisikan (tempat tinggal Ki Ageng Pandan Arang
dan santrinya). Meliputi daerah Bubakan sampai daerah Djurnatan hingga
Kauman.10 Kapan tepatnya kota Semarang lahir masih menjadi perdebatan panjang,
meski tanggal 2 Mei 1547 (bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 954 H) ditetapkan
Pemkot Semarang sebagai Hari Jadi kota Semarang. Hal ini bertepatan dengan
pengangkatan Ki Ageng Pandanaran II menjadi Adipati Semarang oleh kerajaan
Demak.11
Menurut Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo dalam
buku “pakem” milik Raden Hadisapoetra menyatakan, Pangeran Pandan Arang I telah
mendirikan Semarang pada tahun 1564 Jawa (1642 M). Pendapat ini sangat
kontradiktif dengan tulisan Tome Pires (sejarawan berkebangsaan Portugis). Dalam
Summa Oriental, (yang ditulis antara tahun 1512-1515 M di India dan Malaka) ia
menyebutkan, Semarang telah lahir sebelum tahun 1515 M.12
Berdasarkan candra sengkala “Awak Terus Cahya
Jati” yang terdapat dalam Serat Kanda edisi Brandes, kota Semarang lahir pada
tahun 1398 Saka (tahun 1476 M).13 Diawali dengan kedatangan seorang pemuda di
daerah Mugas Bergota (pada waktu itu masih merupakan pulau kecil, Pulau
Tirang), bernama Ki Pandan Arang, yang mengemban tugas untuk meng-Islamkan
penduduk di wilayah tersebut. Seiring bertambahnya waktu, pengikutnya semakin
bertambah banyak. Hingga membentuk suatu pemukiman penduduk yang teratur dan
misi tersebut membawa “suksesi” yang mengantarkan Ki Pandan Arang menjadi
Bupati Semarang Pertama. Pusat pemerintahan pada waktu itu ditempatkan di
Bubakan, daerah ini semakin pesat perkembangannya hingga meluas sampai ke
daerah Djurnatan (sekitar Jl. KH. Agus Salim) dan Kandjengan. Pada akhirnya, Ki
Ageng Pandan Arang14 disebut sebagai pendiri kota Semarang. Sedangkan Syeh Wali
Lanang15 (karibnya, yang diutus oleh Sunan Bonang untuk meng-Islamkan Bethara
Kathong, Bupati Ponorogo) merupakan pencipta nama kota Semarang.16
Pusat pemerintahan mengalami beberapa kali
perpindahan. Setidaknya mulai tahun 1659 M di bawah pimpinan Bupati Mas
Tumenggung Wongsoredjo. Yang dipindahkan ke daerah sekitar desa Gabahan
(sekarang Kelurahan Gabahan). Kemudian oleh penggantinya, Bupati Mas Tumenggung
Prawiroprodjo ditempatkan di Sekayu (sebelah selatan gedung GRIS). Pada tahun
1670 kembali dipindahkan ke daerah Kandjengan yang bertahan sampai tahun
1942.17
Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu
tidak dapat berlangsung lama karena, seusai menerima nasihat Sunan Kalijaga,
Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian. la melepaskan
jabatannya, meninggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan
melewati Salatiga dan Boyolali. Akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama
Jabalkat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama
Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan hingga bergelar Sunan
Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat.
Pengganti Bupati Pandan Arang II dari tahun ke
tahun adalah sebagai berikut18 :
1. Raden Ketib alias Pangeran Kanoman atau
Pandan Arang III (1553-1586).
2. Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659)
3. Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666)
4. Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670)
5. Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674)
6. Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro
atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701)
7. Raden Martoyudo atau Raden Sumingrat
(1743-1751)
8. Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro
atau Surohadimenggolo (1751-1773)
9. Surohadimenggolo IV (1773-tidak diketahui)
10. Adipati Surohadimenggolo V atau Kanjeng
Terboyo (Tidak Diketahui)
11. Raden Tumenggung Surohadiningrat (tidak
diketahui-1841)
Pada waktu Pemerintahan RIS (Republik
Indonesia Serikat), yaitu pada masa Pemerintahan Federal, diangkat Bupati
RM.Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda,
jabatan Bupati diserah terimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R.
Oetoyo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai Bupati Semarang bukan lagi
mengurusi kota, melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi
sebagai akibat berkembangnya Semarang menjadi Kota Praja.
Pada tahun 1906, berdasarkan Stanblat (semacam
Surat Keputusan) Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente (Kota
Praja). Pemerintahan kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester
(Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda. Berakhir
pada tahun 1942 dengan datangnya penjajahan Jepang. Pada masa pendudukan
Jepang, terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai Militer (Shico)
dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico), yang masing-masing
dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintahan daerah Kota Semarang belum dapat menjalankan
tugasnya, karena pendudukan Belanda. Tahun 1946, lnggris atas nama sekutu,
menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal l6 Mei 1946.
Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya,
pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, Walikota Semarang sebelum Proklamasi
Kemerdekaan. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15-20 Oktober 1945
terjadilah peristiwa kepahlawanan. Dimana pemuda-pemuda Semarang bertempur
melawan pasukan Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada
Pasukan Republik. Peristiwa ini dikenal dengan nama “Pertempuran Lima Hari di
Semarang”.
Selama masa pendudukan Belanda, tidak ada
pemerintahan daerah kota Semarang. Namun para pejuang di bidang pemerintahan
tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian
diluar kota sampai dengan bulan Desember 1948. Daerah pengungsian
berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan
akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R
Patah, R.Prawotosudibyo dan Mr Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang
dikenal dengan Recomba, berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente
seperti dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu
tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan, harus menyerahkan
kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950,
Mayor Suhardi Komandan KMKB menyerahkan tampuk pimpinan pemerintah daerah
Semarang kepada Mr Koesoedibyono, pejabat tinggi Kementrian Dalam Negeri di
Yogyakarta.
Beliau menyusun kembali aparat pemerintah guna
memperlancar jalannya pemerintahan. Kondisi kota Semarang di bawah kolonialisme
Belanda memang cukup pesat perkembangannya. Dengan dibangunnya berbagai fasilitas
untuk kepentingan Belanda. Misalnya, sarana dan prasarana perkotaan seperti
jalan, transportasi kereta api, pasar-pasar dan sebagainya. Bahkan, tanggal 16
Juni 1864 dibangun rel pertama di Indonesia. Dimulai dari Semarang menuju kota
Solo dan Kedungjati, Surabaya dan ke Magelang serta Yogyakarta. Kemudian
dibangun dua stasiun kereta api yang masih ada hingga sekarang, yaitu Stasiun
Tawang dan Stasiun Poncol. Sedangkan perusahaan (kalau sekarang PJKA) yang
mengelolanya adalah Nederlandsch Indische Spoorwagen (NIS) berkantor di
Gedung Lawangsewu. Kemudian , pada tahun 1875
Pelabuhan Laut Semarang (sekarang bernama Pelabuhan Tanjung Emas) sejak zaman
dahulu (zaman Ki Ageng Pandan Arang I bernaman Pelabuhan Bergota) telah ramai,
dibangun dengan fasilitas yang lebih memadai. Supaya kapal-kapal berbagai
ukuran, baik kapal barang maupun kapal penumpang bisa bersandar.
Ditengah hiruk pikuk perniagaan antar-bangsa,
sekalipun dalam suasana penjajahan Belanda, agama Islam tetap berkembang.
Sebagai dampak bertemunya para pendatang yang membawa kebudayaan masing-masing.
Seperti bangsa Cina, Arab, India dan Belanda serta orang Jawa (Semarang) selaku
“tuan rumah”.19 Hingga melahirkan tradisi Dugderan20 pada masa pemerintahan
Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat tahun 1891 guna menandai dimulainya bulan suci
Ramadhan.
Sejak tahun 1945 para Walikota yang memimpin
kota besar Semarang yang kemudian menjadi Kota Praja dan akhirnya menjadi Kota
Semarang adalah sebagai berikut21 :
1. Mr. Moch.lchsan
2. Mr. Koesoebiyono (1949 - 1 Juli 1951)
3. RM. Hadisoebeno Sosrowardoyo (1 Juli 1951-1
Januari 1958)
4. Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat (7 Januari
1958-1 Januari 1960)
5. RM Soebagyono Tjondrokoesoemo (1 Januari
1961-26 April 1964)
6. Mr. Wuryanto (25 April 1964-1 September
1966)
7. Letkol. Soeparno (1September 1966-6 Maret
1967)
8. Letkol. R.Warsito Soegiarto (6 Maret 1967-2
Januari 1973)
9. Kolonel Hadijanto (2 Januari 1973-15
Januari 1980)
10. Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (15
Januari 1980-19 Januari 1990)
11. Kolonel H.Soetrisno Suharto (19Januari
1990-19 Januari 2000)
12. H. Sukawi Sutarip SH. MM. (19 Januari
2000-19 Januari 2005)
13. Soemarmo Hs (2005 – 2010)
14. Hendrar Prihadi (21 Oktober 2013 –
2010)
Sumber Bacaan:
1 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, Tandjung
Sari, Semarang, Jilid I, 1978, hlm. 1
2 Jongkie Tio, Kota Semarang Dalam Kenangan, ttp,
tth, hlm. 7
3 Amen Budiman, Semarang Juwita, Semarang Tempo Doeloe,
Semarang Masa Kini Dalam Rekaman Kamera, Tandjung Sari, Semarang, Jilid I,
1979, hlm. 1
4 Liem Thian Joe, Riwayat Semarang : Dari Djamanja
Sam Po sampe Terhapoesnja Kongkoan, Boekhandel-Ho Kim Yoe, Semarang-Batavia,
Tjitakan Pertama, 1933, hlm. 2
5 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…………, op.
cit., hlm. 81
6 Ibid.
7 Ibid., hlm. 82-83
8 Orang-orang jaman dulu menyebut perang saudara
antara dua pangeran kerajaan Pajajaran tersebut dengan sama perang artinya
perang bersama, dikemudian hari ternyata orang-orang telah menghilangkan huruf
p dalam kata-kata sama perang itu, hingga pada akhirnya lahirlah nama Semarang
dan bukannya Sammerang atau Samrang.
9 Berdasarkan keterangan dari gubahan Serat
Kandaning Ringgit Purwa naskah KBG Nr. 7, Serat Kanda terjemahan dalam bahasa
Belanda naskah KBG Nr. 405 dan 540, Serat Wali Sana naskah KBG Nr. 1022, Babad
Nagri Semarang dan Naskah Het Noorden. Ibid., hlm. 83
10 Pegisikan yakni sebuah kawasan yang terletak
ditepi pantai.
11 Jongkie Tio, op.cit., hlm. 10
12 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…, op.
cit., hlm. 86
13 Ibid., hlm. 89
14 Dikenal juga dengan sebutan Kyai Pandanaran, Ki
Gede Semarang, atau Maulana Ibnu Abdullah ada yang menyebutnya sebagai cucu
dari Raden Patah, putra dari Pangeran Sabrang Lor/Adipati Unus (Serat Kanda
edisi Brandes), atau sebagai putra Sunan Ampel (Serat Tjandrakanta), serta
seorang Maulana dari negeri Arab (Serat Kanda dalam bahasa Belanda naskah KBG
Nr.540/Babad Tanah Jawi edisi van Dorp).
15 Terkenal dengan sebutan Maulana Alus Islam, Syeh
Waliyul Islam, ataupun Ibnu Jumadil Kubra adalah adik kandung Syeh Wali
Lanang—ayah Sunan Giri—merupakan putra dari Syeh Jumadil Kubra, adalah seorang
ulama dari negeri Campa (Serat Wali Sana naskah KBG Nr.1022 ab).
16 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu……..,
op.cit., hlm. 91
17 Pendopo dan halaman luas nan indah, disertai
aloon-aloonnya yang luas kini telah musnah “berubah” menjadi pusat pertokoan.
Padahal menurut “master-plan” pemerintahan waktu itu pendopo tersebut akan
direlokasikan ke Tembalang, namun keburu terkena terjangan angin puyuh. Lihat
Jongkie Tio, Kota Semarang…….., op.cit., hlm.10
18 Lihat
http//www.Semarang.go.id/Semarangtempodoeloe.
12. Putro Surohadimenggolo (1841-1855)
13. Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860)
14. RTP Suryokusumo (1860-1887)
15. RTP Reksodirjo (1887-1891)
16. RMTA Purbaningrat (1891-tidak diketahui)
17. Raden Cokrodipuro (tidak diketahui-1927)
18. RM Soebiyono (1897-1927)
19. RM Amin Suyitno (1927-1942)
20. RMAA Sukarman Martohadinegoro (1942-1945)
21. R.Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945) hanya
berlangsung satu bulan.
22. M. Soemardjito Priyohadisubroto (Tahun 1946,
1949-1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia).
19 Sebagaimana penulis jelaskan di bagian lain pada
bab ini, Semarang menjadi sebuah “fasilitator” bertemunya para pendatang yang
mayoritas beragama Islam (terkecuali dari Eropa) dimulai sejak kedatangan
armada Cheng Ho pada abad XV, maka gelombang para Imigran makin “menyerbu”
Semarang dan yang paling menonjol adalah mereka (Cina-Jawa) yang “tertampung”
dalam Sino Javanese Muslim Culture.
20 Dugderan berasal dari kata dug (yang merupakan
bunyi bedug) dan der (yang merupakan bunyi meriam) sebuah “hajatan” rakyat
Semarang sebagai tanda dimulainya bulan Ramadhan dengan mainan khasnya berupa
Warak Ngendog dan telah menjadi agenda tahunan Pemkot Semarang hingga saat ini.
21 Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan
dengan Humas Pemkot Semarang pada tanggal 27 Januari 2005.
Dokumen – Komunitas Cahaya