Select Menu

clean-5

Kabar Komunitas Cahaya

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» » » Asal-usul dan Sejarah Kota Semarang

KOTA Semarang adalah Ibukota Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Pada posisi 1100.23’.57’.79”BT dan Lintang 60.55’.6” LS serta 60.58’18” LS. Sedangkan secara topografis Kota Semarang terdiri atas dua wilayah, yaitu wilayah atas, dan wilayah bawah. Wilayah atas adalah wilayah perbukitan yang memanjang dari timur ke barat di bagian selatan kota Semarang. Wilayah bawah adalah wilayah bentukan yang muncul karena peristiwa alluvial.1

Menurut Prof. Dr. Ir. R.W. Van Bamellen, geolog asal Belanda mengatakan, lebih kurang 500 tahun yang lalu keadaan kota Semarang jadi berbeda dengan sekarang. Dikala itu garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga ke kaki bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunung Sawo Simongan dan bukit-bukit lain sekitarnya. Seiring dengan berjalannya waktu terjadilah pendangkalan dan endapan lumpur hingga timbullah suatu dataran baru yang kemudian hari dikenal sebagai kota bawah dari kota Semarang. Sebab itulah dikatakan unik dan indah karena terbagi dalam dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah.2

Dengan kondisi geografis yang demikian, ada seorang isteri pejabat VOC, Meur B-P ( Nyonya B-P ) menyebut Semarang dengan, “een Oosterchs Venetie! Schimmen, glinstering,…bekoring!” ( sebuah Venesia dari negeri Timur—yang teduh, berkilauan…indah menawan! ).3

Ada beberapa pendapat dari para sejarawan mengenai asal-usul nama Semarang, yaitu ;
Berdasarkan penyelidikan sejarah yang dilakukan oleh C. Lekkerkerker dari Nederland Java en Bali Instituut,4 asal mula nama Semarang diambil dari perkataan Asem-Arang. Alasannya banyak nama-nama tempat di Indonesia dinamakan sesuai dengan keadaan dan kondisi daerah yang bersangkutan. Seperti halnya Banyumas berasal dari perkataan Banyu-Amis. Kemudian Salatiga berasal dari perkataan salah tiga. Konon ada tiga orang yang salah, yaitu merampok Ki Ageng Pandan Arang II dan isteri. Dalam perjalanannya menuju Gunung Jabalkat untuk “ber-‘uzlah” dari gemerlapnya harta duniawi atas perintah gurunya, Sunan Kalijaga.

Merujuk dari keterangan diatas, pada zaman dulu Semarang banyak ditumbuhi pohon asem yang keadaan daunnya jarang-jarang atau tidak nggempiok ( rimbun ). Maka tempat ini disebut Asem-Arang. Lama kelamaan untuk menggampangkan omongan berubah menjadi Semarang seperti sekarang.

Sejalan dengan pendapat Lekkerkerker, D. Van Hinloopen Labberton juga menunjukkan adanya tempat-tempat yang mempunyai nama dengan menggunkan kata-kata arang dan kerep, seperti Jatingarang, Pelemkerep, dan Gempolkerep.5

Menurut Raden Mas Ngabehi Tjokro Hadiwikromo, Semarang berasal dari perkataan Semaran atau Kasemaran. Yakni, nama kediaman resmi Kyai Ageng Kasemaran, nama lain Ki Ageng Pandan Arang. Karena beliau menikah dengan Endang Kasmaran alias Endang Sejanila.6 Perkataan Kasemaran sendiri kemudian diperpendek menjadi Semaran yang pada akhirnya berubah menjadi Semarang. Dikarenakan, orang-orang Belanda jika melafalkan an selalu berubah menjadi ang. Misalnya, ketika mengucapkan Palimanan menjadi Palimanang, Kopen menjadi Kopeng dan lain sebagainya.

J. Hageman Jcs menuliskan,7 pada tahun 1207 tahun Jawa ada dua orang Pangeran dari Kerajaan Pajajaran, yaitu Raden Tanduran dan Siyung Wanara terlibat peperangan sengit di sebelah Barat Semarang. Tepatnya di Tugu Rejo (dahulu masih masuk dalam wilayah Kendal). Untuk mengenang peristiwa sekaligus mengakhiri Civil War8 itu, maka dibangunlah sebuah “monumen perjanjian” yang dinamakan Tugu. Dengan kesepakatan, tanah Jawa sebelah Timur dari tiang batu itu—dinamakan Majapahit—menjadi milik Raden Tanduran. Sedangkan tanah Jawa sebelah Baratnya—dinamakan Pajajaran—adalah milik penuh dari Siyung Wanara.

Hageman menyimpulkan, nama Semarang berasal dari Ka-Semaran dan Semaran, artinya kediaman Semar. Akan tetapi Hageman juga mempunyai pendapat lain. Menurutnya, Semarang justru berasal dari kata Harang—untuk yang lebih halusnya—orang menyebut dengan Arang. Yang berarti mahal atau jarang. Dalam bahasa Jawa Krama, nama Semarang disebut Semawis atau Samahawis. Berasal dari perkataan Hawis atau Awis, yang berarti sama mahal atau sama asing.

Dari beberapa pendapat diatas, yang lebih faktual adalah yang menyebutkan nama Semarang berasal dari kata-kata asem dan arang. Alasannya adalah :
Pertama, di kota Semarang dahulu kala banyak tumbuh pohon asam (sekarang pun masih bisa kita lihat meski hanya beberapa gelintir).

Kedua, khususnya di tanah Jawa, cukup banyak nama kota yang menggunakan asem sebagai nama awal. Yaitu, Asembagus (pondoknya Alm. Kyai As’ad di Situbondo), Asembawang dan Asemkandang (keduanya berada di Pasuruan), Asemgajah (dekat Juana), Asem Legi (±18 km dari Solo).

Ketiga, pemberian nama tempat dengan menggunakan nama pohon asam telah ada 10 abad yang silam. Berdasarkan prasasti yang dibuat atas perintah Raja Balitung. Berupa piagam tembaga bertahun 827 Saka (905 Masehi), menuturkan adanya sebuah desa Asampanjang (Pangurang I wka I sama lagi watak asampanjang—pangurang di Wka (Baka)—tuan Sanjat penduduk di Samalagi daerah Asampanjang). Drs. M. Soekarto menambahkan, desa tersebut sebenarnya masih ada, hanya saja telah berubah nama menjadi desa Sendawa, yang berasal dari kata-kata Asem-Dawa.9

Layaknya sebuah kota, minimal harus mempunyai empat unsur utama. Yaitu, ada wilayahnya, ada penduduknya, adanya pemerintahan dan kedaulatan (yakni kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahannya). Karenanya, lahirnya kota Semarang menjadi polemik tersendiri (berdasar pada saat kapan untuk pertama kalinya sebuah kota mempunyai empat unsur diatas sebagai sebuah totalitas).

Sebagaimana kita ketahui, yang dinamakan Semarang awalnya adalah daerah pegisikan (tempat tinggal Ki Ageng Pandan Arang dan santrinya). Meliputi daerah Bubakan sampai daerah Djurnatan hingga Kauman.10 Kapan tepatnya kota Semarang lahir masih menjadi perdebatan panjang, meski tanggal 2 Mei 1547 (bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 954 H) ditetapkan Pemkot Semarang sebagai Hari Jadi kota Semarang. Hal ini bertepatan dengan pengangkatan Ki Ageng Pandanaran II menjadi Adipati Semarang oleh kerajaan Demak.11

Menurut Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo dalam buku “pakem” milik Raden Hadisapoetra menyatakan, Pangeran Pandan Arang I telah mendirikan Semarang pada tahun 1564 Jawa (1642 M). Pendapat ini sangat kontradiktif dengan tulisan Tome Pires (sejarawan berkebangsaan Portugis). Dalam Summa Oriental, (yang ditulis antara tahun 1512-1515 M di India dan Malaka) ia menyebutkan, Semarang telah lahir sebelum tahun 1515 M.12

Berdasarkan candra sengkala “Awak Terus Cahya Jati” yang terdapat dalam Serat Kanda edisi Brandes, kota Semarang lahir pada tahun 1398 Saka (tahun 1476 M).13 Diawali dengan kedatangan seorang pemuda di daerah Mugas Bergota (pada waktu itu masih merupakan pulau kecil, Pulau Tirang), bernama Ki Pandan Arang, yang mengemban tugas untuk meng-Islamkan penduduk di wilayah tersebut. Seiring bertambahnya waktu, pengikutnya semakin bertambah banyak. Hingga membentuk suatu pemukiman penduduk yang teratur dan misi tersebut membawa “suksesi” yang mengantarkan Ki Pandan Arang menjadi Bupati Semarang Pertama. Pusat pemerintahan pada waktu itu ditempatkan di Bubakan, daerah ini semakin pesat perkembangannya hingga meluas sampai ke daerah Djurnatan (sekitar Jl. KH. Agus Salim) dan Kandjengan. Pada akhirnya, Ki Ageng Pandan Arang14 disebut sebagai pendiri kota Semarang. Sedangkan Syeh Wali Lanang15 (karibnya, yang diutus oleh Sunan Bonang untuk meng-Islamkan Bethara Kathong, Bupati Ponorogo) merupakan pencipta nama kota Semarang.16

Pusat pemerintahan mengalami beberapa kali perpindahan. Setidaknya mulai tahun 1659 M di bawah pimpinan Bupati Mas Tumenggung Wongsoredjo. Yang dipindahkan ke daerah sekitar desa Gabahan (sekarang Kelurahan Gabahan). Kemudian oleh penggantinya, Bupati Mas Tumenggung Prawiroprodjo ditempatkan di Sekayu (sebelah selatan gedung GRIS). Pada tahun 1670 kembali dipindahkan ke daerah Kandjengan yang bertahan sampai tahun 1942.17

Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena, seusai menerima nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian. la melepaskan jabatannya, meninggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali. Akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama Jabalkat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan hingga bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat.

Pengganti Bupati Pandan Arang II dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut18 :
1. Raden Ketib alias Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586).
2. Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659)
3. Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666)
4. Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670)
5. Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674)
6. Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701)
7. Raden Martoyudo atau Raden Sumingrat (1743-1751)
8. Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadimenggolo (1751-1773)
9. Surohadimenggolo IV (1773-tidak diketahui)
10. Adipati Surohadimenggolo V atau Kanjeng Terboyo (Tidak Diketahui)
11. Raden Tumenggung Surohadiningrat (tidak diketahui-1841)

Pada waktu Pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), yaitu pada masa Pemerintahan Federal, diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserah terimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetoyo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai Bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota, melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat berkembangnya Semarang menjadi Kota Praja.

Pada tahun 1906, berdasarkan Stanblat (semacam Surat Keputusan) Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente (Kota Praja). Pemerintahan kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda. Berakhir pada tahun 1942 dengan datangnya penjajahan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico), yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintahan daerah Kota Semarang belum dapat menjalankan tugasnya, karena pendudukan Belanda. Tahun 1946, lnggris atas nama sekutu, menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal l6 Mei 1946.

Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, Walikota Semarang sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15-20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan. Dimana pemuda-pemuda Semarang bertempur melawan pasukan Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Peristiwa ini dikenal dengan nama “Pertempuran Lima Hari di Semarang”.

Selama masa pendudukan Belanda, tidak ada pemerintahan daerah kota Semarang. Namun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian diluar kota sampai dengan bulan Desember 1948. Daerah pengungsian berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.Prawotosudibyo dan Mr Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba, berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan, harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950, Mayor Suhardi Komandan KMKB menyerahkan tampuk pimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, pejabat tinggi Kementrian Dalam Negeri di Yogyakarta.

Beliau menyusun kembali aparat pemerintah guna memperlancar jalannya pemerintahan. Kondisi kota Semarang di bawah kolonialisme Belanda memang cukup pesat perkembangannya. Dengan dibangunnya berbagai fasilitas untuk kepentingan Belanda. Misalnya, sarana dan prasarana perkotaan seperti jalan, transportasi kereta api, pasar-pasar dan sebagainya. Bahkan, tanggal 16 Juni 1864 dibangun rel pertama di Indonesia. Dimulai dari Semarang menuju kota Solo dan Kedungjati, Surabaya dan ke Magelang serta Yogyakarta. Kemudian dibangun dua stasiun kereta api yang masih ada hingga sekarang, yaitu Stasiun Tawang dan Stasiun Poncol. Sedangkan perusahaan (kalau sekarang PJKA) yang mengelolanya adalah Nederlandsch Indische Spoorwagen (NIS) berkantor di

Gedung Lawangsewu. Kemudian , pada tahun 1875 Pelabuhan Laut Semarang (sekarang bernama Pelabuhan Tanjung Emas) sejak zaman dahulu (zaman Ki Ageng Pandan Arang I bernaman Pelabuhan Bergota) telah ramai, dibangun dengan fasilitas yang lebih memadai. Supaya kapal-kapal berbagai ukuran, baik kapal barang maupun kapal penumpang bisa bersandar.

Ditengah hiruk pikuk perniagaan antar-bangsa, sekalipun dalam suasana penjajahan Belanda, agama Islam tetap berkembang. Sebagai dampak bertemunya para pendatang yang membawa kebudayaan masing-masing. Seperti bangsa Cina, Arab, India dan Belanda serta orang Jawa (Semarang) selaku “tuan rumah”.19 Hingga melahirkan tradisi Dugderan20 pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat tahun 1891 guna menandai dimulainya bulan suci Ramadhan.

Sejak tahun 1945 para Walikota yang memimpin kota besar Semarang yang kemudian menjadi Kota Praja dan akhirnya menjadi Kota Semarang adalah sebagai berikut21 :
1. Mr. Moch.lchsan
2. Mr. Koesoebiyono (1949 - 1 Juli 1951)
3. RM. Hadisoebeno Sosrowardoyo (1 Juli 1951-1 Januari 1958)
4. Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat (7 Januari 1958-1 Januari 1960)
5. RM Soebagyono Tjondrokoesoemo (1 Januari 1961-26 April 1964)
6. Mr. Wuryanto (25 April 1964-1 September 1966)
7. Letkol. Soeparno (1September 1966-6 Maret 1967)
8. Letkol. R.Warsito Soegiarto (6 Maret 1967-2 Januari 1973)
9. Kolonel Hadijanto (2 Januari 1973-15 Januari 1980)
10. Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (15 Januari 1980-19 Januari 1990)
11. Kolonel H.Soetrisno Suharto (19Januari 1990-19 Januari 2000)
12. H. Sukawi Sutarip SH. MM. (19 Januari 2000-19 Januari 2005)
13. Soemarmo Hs (2005 – 2010)
14. Hendrar Prihadi (21 Oktober 2013 – 2010)


Sumber Bacaan:
1 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, Tandjung Sari, Semarang, Jilid I, 1978, hlm. 1
2 Jongkie Tio, Kota Semarang Dalam Kenangan, ttp, tth, hlm. 7
3 Amen Budiman, Semarang Juwita, Semarang Tempo Doeloe, Semarang Masa Kini Dalam Rekaman Kamera, Tandjung Sari, Semarang, Jilid I, 1979, hlm. 1
4 Liem Thian Joe, Riwayat Semarang : Dari Djamanja Sam Po sampe Terhapoesnja Kongkoan, Boekhandel-Ho Kim Yoe, Semarang-Batavia, Tjitakan Pertama, 1933, hlm. 2
5 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…………, op. cit., hlm. 81
6 Ibid.
7 Ibid., hlm. 82-83
8 Orang-orang jaman dulu menyebut perang saudara antara dua pangeran kerajaan Pajajaran tersebut dengan sama perang artinya perang bersama, dikemudian hari ternyata orang-orang telah menghilangkan huruf p dalam kata-kata sama perang itu, hingga pada akhirnya lahirlah nama Semarang dan bukannya Sammerang atau Samrang.
9 Berdasarkan keterangan dari gubahan Serat Kandaning Ringgit Purwa naskah KBG Nr. 7, Serat Kanda terjemahan dalam bahasa Belanda naskah KBG Nr. 405 dan 540, Serat Wali Sana naskah KBG Nr. 1022, Babad Nagri Semarang dan Naskah Het Noorden. Ibid., hlm. 83
10 Pegisikan yakni sebuah kawasan yang terletak ditepi pantai.
11 Jongkie Tio, op.cit., hlm. 10
12 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…, op. cit., hlm. 86
13 Ibid., hlm. 89
14 Dikenal juga dengan sebutan Kyai Pandanaran, Ki Gede Semarang, atau Maulana Ibnu Abdullah ada yang menyebutnya sebagai cucu dari Raden Patah, putra dari Pangeran Sabrang Lor/Adipati Unus (Serat Kanda edisi Brandes), atau sebagai putra Sunan Ampel (Serat Tjandrakanta), serta seorang Maulana dari negeri Arab (Serat Kanda dalam bahasa Belanda naskah KBG Nr.540/Babad Tanah Jawi edisi van Dorp).
15 Terkenal dengan sebutan Maulana Alus Islam, Syeh Waliyul Islam, ataupun Ibnu Jumadil Kubra adalah adik kandung Syeh Wali Lanang—ayah Sunan Giri—merupakan putra dari Syeh Jumadil Kubra, adalah seorang ulama dari negeri Campa (Serat Wali Sana naskah KBG Nr.1022 ab).
16 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…….., op.cit., hlm. 91
17 Pendopo dan halaman luas nan indah, disertai aloon-aloonnya yang luas kini telah musnah “berubah” menjadi pusat pertokoan. Padahal menurut “master-plan” pemerintahan waktu itu pendopo tersebut akan direlokasikan ke Tembalang, namun keburu terkena terjangan angin puyuh. Lihat Jongkie Tio, Kota Semarang…….., op.cit., hlm.10
18 Lihat http//www.Semarang.go.id/Semarangtempodoeloe.
12. Putro Surohadimenggolo (1841-1855)
13. Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860)
14. RTP Suryokusumo (1860-1887)
15. RTP Reksodirjo (1887-1891)
16. RMTA Purbaningrat (1891-tidak diketahui)
17. Raden Cokrodipuro (tidak diketahui-1927)
18. RM Soebiyono (1897-1927)
19. RM Amin Suyitno (1927-1942)
20. RMAA Sukarman Martohadinegoro (1942-1945)
21. R.Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945) hanya berlangsung satu bulan.
22. M. Soemardjito Priyohadisubroto (Tahun 1946, 1949-1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia).
19 Sebagaimana penulis jelaskan di bagian lain pada bab ini, Semarang menjadi sebuah “fasilitator” bertemunya para pendatang yang mayoritas beragama Islam (terkecuali dari Eropa) dimulai sejak kedatangan armada Cheng Ho pada abad XV, maka gelombang para Imigran makin “menyerbu” Semarang dan yang paling menonjol adalah mereka (Cina-Jawa) yang “tertampung” dalam Sino Javanese Muslim Culture.
20 Dugderan berasal dari kata dug (yang merupakan bunyi bedug) dan der (yang merupakan bunyi meriam) sebuah “hajatan” rakyat Semarang sebagai tanda dimulainya bulan Ramadhan dengan mainan khasnya berupa Warak Ngendog dan telah menjadi agenda tahunan Pemkot Semarang hingga saat ini.
21 Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Humas Pemkot Semarang pada tanggal 27 Januari 2005.


Dokumen – Komunitas Cahaya

About Redaksi

KOMUNITAS CAHAYA - RUMAH CAHAYA; Mengabdi dan Mengkaji.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Leave a Reply

Kajian