Oleh:
B.Herry Priyono *
“Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang
pemikiran sosial..., membangun kembali logika serta metode ilmu-ilmu sosial,
dan mengajukan analisis tentang munculnya lembaga-lembaga moderen.” (Conversations with Anthony Giddens, 1998,
hlm. 44-45)
Setiap
hari Rabu sekitar jam satu siang dalam tahun akademis, di aula lama London
School of Economics and Political Science (LSE), seorang yang biasa berbaju
putih selalu masuk melewati kerumunan mahasiswa/i dan para peminat dari
kalangan akademis, bisnis, pemerintahan, diplomatik, media, LSM, dsb. Lalu dia
mengambil mikrofon dan bilang: “hari ini kita akan menafsir-ulang Marxisme.”
Hari Rabu lain: “kita akan membahas globalisasi.” Dan seterusnya: kapitalisme,
modernitas, negara, asuransi global, dsb. Tanpa naskah, tanpa formalitas. Dia
memberi kuliah publik tentang cara baru memandang berbagai masalah “dunia yang
tunggang-langgang” (runaway world).[1]
Itulah
Anthony Giddens, rektor LSE dan teoretikus sosial yang belakangan ini dikenal
luas lewat pamflet panjangnya, The Third Way (1998). Selain lewat 32
buku yang sudah ia tulis dan diterjemahkan ke dalam 26 bahasa, ia secara
langsung menawarkan kepada khalayak cara baru memandang berbagai masalah di
ujung abad 20.[2] Selain 3 agenda seperti dikutip di atas, ada 1 agendum lain
yang bersifat publik, meski tak pernah ia sebut: menjadi pemikir bagi
pembaharuan partai-partai progresif di Eropa dan berbagai kebijakan pemerintah
demokrasi sosialis, seperti welfare state.[3] Namun juga dalam agendum yang
bersifat “politis” itu, Giddens pertama-tama ialah seorang teoretikus ilmu
sosial.
Tulisan
ini merupakan sketsa untuk memetakan beberapa pemikiran dasar Giddens, dengan
fokus pada sosiologi. Saya akan membaginya ke dalam 3 bagian. Pertama,
contoh kritik Giddens terhadap teori lain. Kedua, beberapa terobosan
teoretis Giddens. Ketiga, contoh ringkas bagaimana ia menerapkan gagasan
teoretisnya. Karena teori ilmu sosial merupakan rimba yang sangat luas dan
lebat, beberapa rujukan pembanding hanya bisa dibuat secara kikir. Dalam banyak
hal, sketsa ini merupakan upaya sederhana untuk memperkenalkan beberapa konsep
dasar pemikiran Giddens yang sangat luas.
Kritik terhadap Dualisme
Seperti
para teoretisi lain, Giddens juga mulai dari telaah kritis terhadap mazhab
pemikiran sosial yang ada. Ia mulai dari telaah atas tradisi-besar pemikiran
Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber.[4] Lalu ia mengarahkan refleksi pada
berbagai pemikiran yang sudah menjadi “isme” dewasa ini, seperti fungsionalisme
Parsons, interaksionisme Goffman, Marxisme, strukturalisme Saussure,
post-strukturalisme Foucault/Derrida, dsb.[5]
Dalam
telaah kritis itu, Giddens menaruh perhatian khusus pada soal dualisme yang
menggejala dalam ilmu-ilmu sosial.[6] Dualisme itu berupa tegangan antara
subyektivisme dan obyektivisme, voluntarisme dan determinisme. Yang pertama
ialah tendensi cara pandang yang memprioritaskan tindakan/pengalaman individu
di atas gejala keseluruhan. Yang kedua merupakan kecenderungan sebaliknya.
Dalam cara-tutur harian kita, dualisme itu terungkap misalnya pada ujaran:
“masalahnya mentalitas atau struktur?” Kalau jawabnya satu dari keduanya, kita
terpelanting ke dualisme. Kalau jawabannya “kedua-duanya”, bagaimana membangun
kaitan secara memadahi? Giddens coba mengajukan kaitan teoretis itu.
Apa
akar dualisme tersebut? Menurut Giddens, akarnya terletak dalam kesesatan
melihat obyek kajian ilmu-ilmu sosial. Obyek utama ilmu sosial bukanlah peran
sosial seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan kode-tersembunyi seperti
dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan juga keunikan-situasional seperti
dalam interaksionisme Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur
dan bukan pelaku-perorangan, melainkan titik-temu keduanya, yaitu “praktik
sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu.”[7] Praktik
sosial bisa berupa KKN, bisa berupa keterlibatan militer dalam bisnis atau
perburuhan, bisa arus lalu-lintas, bisa juga demonstrasi menggulingkan Orde
Baru.
Gagasan
yang kedengaran sederhana ini perlu dipahami dalam konteks ketika Giddens mulai
membangun teorinya, yaitu ilmu sosial yang dikuasai oleh fungsionalisme,
Marxisme, dan strukturalisme. Dalam istilahnya, mazhab-mazhab itu merupakan
“imperialisme obyek sosial” atas subyek,[8] prioritas struktur dengan
merelativir pelaku. Ia melihat bahwa kaitan yang memadahi antara keseluruhan
dan bagian “hanya bisa mulai dari apa yang tidak ada: kurangnya teori
‘tindakan’ dalam ilmu-ilmu sosial.”[9] Apa yang dimaksud bukanlah bahwa para
teoretisi lain tidak punya teori tentang tindakan. Goffman, misalnya, menggagas
pelaku dan tindakannya mirip pemain Srimulat yang bermain spontan tanpa
naskah.[10] Sebaliknya Parsons melihat pelaku dan tindakannya seperti mantan
Menteri Penerangan Indonesia yang bertindak “menurut petunjuk Bapak”.[11] Yang
pertama menafikan bingkai struktural, yang kedua menisbikan kapasitas bebas
pelaku. Ada baiknya mengambil satu-dua contoh ringkas tentang bagaimana Giddens
melihat beberapa mazhab pemikiran yang ada.
Kritik
terhadap Fungsionalisme
Pertama,
fungsionalisme Parsons, suatu mazhab pemikiran yang laris di Indonesia. Parsons
mulai dari apa yang disebut “masalah Hobbesian tentang tatanan” (problem of order).[12]
Masalah Hobbesian ialah pandangan bahwa kondisi asali kita berupa konflik tak
berkesudahan antar individu. Bahwa kini ada tatanan-masyarakat, tentulah karena
terjadi suatu lompatan. Proses lompatan itu menyangkut 2 soal yang lalu disebut
masalah Hobbesian. Pertama, bagaimana tata-masyarakat dimungkinkan? Kedua,
bagaimana proses pendamaian konflik berbagai kepentingan? Orang seperti Locke
(kontrak sosial) menjawab soal pertama. Parsons melihat masalah Hobbesian
sebagai soal kedua.
Kunci
untuk memahami proses pendamaian itu ialah ‘nilai’ (value) yang mengikat
kebutuhan/tindakan para individu dengan tata-masyarakat.[13] Dalam tindakan
apapun, kita anggota masyarakat merupakan pelaksana peran-peran sosial
tertentu. Peran sosial inilah yang menjadi fokus utama kajian ilmu sosial,
entah peran itu disebut buruh, manajer, ataupun murid. Peran tidak diciptakan
oleh individu, karena “apa yang menjadi isi peran sosial adalah apa yang
dituntut/diharapkan oleh peran tersebut.”[14] Setiap masyarakat punya 4 prasyarat
fungsional yang mesti dipenuhi dan yang membentuk peran sosial yang ada:
prasyarat tujuan (goal) yang disangga oleh lembaga politik, adaptasi
(adaptation) yang disangga lembaga ekonomi, prasyarat integrasi (integration)
yang disangga lembaga hukum, dan prasyarat perekat (latency) yang disangga
institusi keluarga dan agama. Ketertundukan kita pada apa yang dituntut oleh
peran sosial dijaga lewat sangsi positif (hadiah) dan negatif (hukuman). Peran
dan sangsi sosial terlembagakan ke dalam ‘sistem nilai’ masyarakat yang
kemudian diadopsi oleh dan menjadi penggerak tindakan para anggotanya.
Giddens
punya antipati besar terhadap fungsionalisme sampai ia bilang: “saya ingin
menghapus istilah fungsi dari seluruh kamus ilmu-ilmu sosial.”[15] Apa yang tak
bisa diterima dalam fungsionalisme? Sekurangnya 3 hal. Pertama, fungsionalisme
memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukanlah orang-orang dungu.
Kita tahu apa yang terjadi di sekitar kita, bukan robot yang bertindak berdasar
“naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara
berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus
dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun. Yang punya
kebutuhan ialah kita para pelaku.[16] Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi
waktu dan ruang dalam menjelaskan proses sosial.[17] Akibatnya terjadi oposisi
antara ‘statik’ dan ‘dinamik’, suatu dualisme lain.
Terutama
pokok kedua menjadi kunci kritik Giddens pada fungsionalisme. Ambillah satu
contoh penjelasan fungsionalis. Adanya kelompok preman biasa dikaitkan dengan
militerisme. Mengapa ada preman? Jawab: karena sistem militerisme
membutuhkannya. Maka kebutuhan suatu sistem (militerisme) dipakai sebagai
penjelas suatu gejala (adanya kelompok preman). Cara pandang seringkali
dibalik: karena kinerja militerisme mendorong terbentuknya kelompok preman,
tentulah karena militerisme membutuhkannya. Menurut Giddens, cara pandang itu
tidak menjelaskan apapun. Dalam studi ekonomi-politik, penjelasan fungsionalis menggejala
terutama lewat argumen bahwa otoritarianisme akan diubah oleh kontradiksi
antara ‘modal’ dan ‘negara’, tanpa melihat pola kerjasama dan konflik antara
para kapitalis dan pejabat negara.[18]
Kritik
atas kecenderungan fungsionalis juga diajukan terhadap perspektif
Marxist-strukturalis seperti pemikiran Althusser[19] dan terhadap
materialisme-historis pada umumnya. Kritik Giddens terhadap
materialisme-historis dapat diringkas sebagai berikut:[20]
Tabel
1. Ringkasan Kritik Giddens terhadap Materialisme Historis
|
Konsepsi
Dasar Marxist
|
Kritik
Giddens
|
Alternatif
Giddens
|
Logika
keterkaitan antara bagian dan keseluruhan
Tipologi
tatanan sosial
Logika
transformasi
|
Totalitas
Fungsional
Cara-produksi
Dialektika
fungsional dari kekuatan dan hubungan produksi
|
Fungsionalisme
Reduksionisme
ekonomi dan kelas
Evolusionisme
fungsional
|
Strukturasi
Tingkat
perentangan waktu-ruang
Transisi
episodik
|
Kritik
terhadap Strukturalisme (dan Post-Strukturalisme)
Strukturalisme berasal dari gerakan dalam
filsafat bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Dalam ilmu-ilmu
sosial, strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke dalam analisis
sosial. Pokok strukturalisme yang dikembangkan dalam ilmu sosial ialah
perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dan ‘ujaran/percakapan’ (parole). Kata
‘presiden’ ialah kata umum pada tataran langue (bisa Bill Clinton, Sukarno,
atau Mbeki). Sedang ‘presiden yang memerintah Indonesia selama 32 tahun’ ialah
ujaran spesifik pada dataran parole (tak lain kecuali Soeharto tahun
1966-1998). Perbedaan antara langue dan parole ialah beda antara apa yang
sosial dan apa yang individual, apa yang hakiki dan apa yang kebetulan.[21]
Tetapi
mengapa Soeharto disebut ‘presiden’ dan bukan ‘pesindèn’? Bahwa begitulah
konvensi cara-tutur kita samasekali tak menjelaskan apapun. Dalam perspektif
strukturalis, hal itu menunjukkan bahwa kaitan antara kata ‘presiden’ dan
seorang yang menjadi kepala-negara bersifat mana-suka (arbitrary). Kata
‘presiden’ ada bukan karena kaitan logis-internal dengan orang yang menjadi
kepala dari pemerintahan presidential, melainkan karena kaitan dan perbedaannya
dengan kata ‘sultan’, ‘gubernur’, ‘camat’, dsb. Begitu juga kata ‘kursi’ tidak
punya kaitan logis dengan benda yang kita duduki, melainkan karena kaitannya
dengan kata lain seperti ‘meja’ atau ‘almari’. Semua bisa dipahami secara
otonom di tataran langue (logika-internal penunjuk), dan tidak terkait dengan
obyek yang ditunjuk.
Ketika
diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial (cf. Levi-Strauss), juga jika hanya secara
analogis, implikasinya cukup jauh. Apa yang utama dalam analisis sosial adalah
menemukan “kode tersembunyi” yang ada di balik gejala kasat-mata, sebagaimana
langue menjadi kunci otonom di balik parole. “Kode tersembunyi” itulah
struktur. Tindakan individual dalam ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu
kebetulan. Kalau mau mengerti masyarakat kapitalis, misalnya, bidiklah
logika-internal kinerja ‘modal’. Ada paralel antara perspektif strukturalis dan
fungsionalis, yaitu pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku pada totalitas.
Pelaku, tindakan pelaku, waktu, ruang dan proses adalah soal kebetulan. Dalam
kritik Giddens, perspektif ini merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap
subyek.”[22] Strukturalisme adalah bentuk dualisme.
Gejala
penyingkiran subyek (de-centring) dalam strukturalisme ini dibawa ke implikasi
terjauhnya oleh para penggagas post-strukturalisme. Seperti disebut di atas,
kata ‘presiden’ terbentuk bukan karena kaitannya dengan seorang yang menjadi
kepala negara pada waktu-tempat tertentu, melainkan karena perbedaannya dengan
kata ‘raja’, ‘menteri’, ‘camat’. Ada 2 unsur sentral di situ: sifat mana-suka
(arbitrary) dan perbedaan (difference). Bahwa benda yang kita duduki disebut
‘kursi’ adalah soal arbitrary dan karena perbedaannya dengan kata ‘meja’ atau
‘almari’. Derrida, misalnya, melihat ‘perbedaan’ bukan hanya sebagai cara
menunjuk, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bersifat konstitutif.[23]
Artinya, perbedaan kata ‘presiden’ dan ‘camat’ bukan sekedar bahwa ‘presiden’
ialah apa yang ‘bukan-camat’, melainkan bahwa ‘bukan-camat’ sendiri merupakan
pokok eksistensi. Apakah yang ‘bukan-camat’ itu ialah ‘presiden’ atau ‘bupati’
bukanlah masalahnya. Berbeda adalah menangguhkan serta melawan; berbeda merupakan
identitas itu sendiri. Menangkap hakikat sesuatu adalah upaya menangkap
fatamorgana.
Dibanding
terhadap fungsionalisme, Giddens lebih menaruh simpati pada beberapa aspek
strukturalisme. Dari gagasan ‘otonomi teks’ (pada tataran langue), Giddens akan
mengembangkan gagasan tentang kapasitas surveillance sebagai locus kekuasaan
negara. Selain itu, seperti diakuinya sendiri, ia “mengartikan struktur dalam
pengertian yang lebih dekat dengan yang dipakai Levi-Strauss [dalam
strukturalisme] ketimbang dengan apa yang ada dalam fungsionalisme.”[24] Namun
Giddens tetap bersikeras bahwa penyingkiran subyek dalam strukturalisme dan
post-strukturalisme merupakan skandal yang tak bisa diterima.
Dualitas
dalam Strukturasi
Dua
contoh kritik yang diringkas secara kikir di atas mungkin cukup sebagai konteks
untuk memahami gagasan teoretis Giddens. Telaah kritis Giddens jauh lebih luas,
mencakup kritik terhadap materialisme historis, fenomenologi, teori
pilihan-rasional dalam ekonomi, dsb.[25] Dari telaah kritis itu, setidaknya ada
2 tema sentral yang akan menjadi poros gagasan Giddens sendiri: hubungan
pelaku-struktur, dan sentralitas waktu-ruang.
Pertama,
hubungan pelaku (agency) dan struktur (structure). Bahwa pelaku berbeda dengan
struktur adalah tentu saja. Tapi perbedaan itu berupa dualisme ataukah
dualitas? Giddens melihat bahwa ilmu sosial dijajah oleh gagasan dualisme
pelaku-vs-struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya sebagai hubungan
dualitas: “tindakan dan struktur saling mengandaikan.”[26] Apa yang disebut
‘pelaku’ menunjuk pada orang kongkret dalam “arus kontinu tindakan dan
peristiwa di dunia.”[27] ‘Struktur’ bukanlah nama bagi totalitas, bukan kode
tersembunyi seperti dalam strukturalisme, bukan pula kerangka keterkaitan
bagian-bagian dari suatu totalitas. Struktur ialah “aturan dan sumber-daya yang
terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktik sosial.”[28] Dualitas
struktur-pelaku terletak dalam proses di mana “struktur sosial merupakan hasil
dan sekaligus sarana praktik sosial.”[29] Struktur analog dengan langue
(mengatasi waktu-ruang), sedang praktik sosial analog dengan parole (dalam
waktu-ruang). Berdasar prinsip dualitas struktur-pelaku ini, Giddens menggagas
suatu teori baru: Teori Strukturasi.[30]
Kedua,
sentralitas waktu (time) dan ruang (space). Sebagai poros teori strukturasi,
sentralitas waktu-ruang juga menjadi kritik pada dualisme statik-dinamik,
sinkroni-diakroni. ‘Waktu’ dan ‘ruang’ biasanya dipahami sebagai arena
(panggung) tindakan: ke mana kita masuk, dari mana kita keluar. Diilhami oleh
filsafat-waktu Heidegger, Giddens menyatakan bahwa waktu-ruang bukanlah arena
tindakan, melainkan unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian
masyarakat. Karena itu harus menjadi unsur integral dari teori ilmu sosial.[31]
Pokok ini juga yang membuat Giddens menamakan teorinya sebagai ‘struktur-asi’,
sebagaimana setiap akhiran ‘is(asi)’ menunjuk proses: waktu-ruang sebagai unsur
konstitutif gejala sosial (misal: modern-isasi, deSuharto-isasi, urban-isasi).
Konstitusi waktu-ruang ini sentral dalam gagasan Giddens. Bagi dia, misalnya,
perbedaan bentuk-bentuk masyarakat bukan terletak pada perbedaan cara-produksi
seperti dalam Marxisme, melainkan dalam cara masing-masing masyarakat
mengorganisir hubungan antara waktu dan ruang.[32] Negara adalah “pemuat
kekuasaan” yang didasarkan pada kontrol atas pengaturan waktu-ruang.[33]
Modernitas sebagai gejala pemisahan waktu dari ruang.[34] Globalisasi sebagai
perentangan sekaligus pemadatan waktu dan ruang, atau “aksi dari kejauhan.”[35]
Beberapa Pemikiran Teoretis
Agar
tidak terjadi tumpang-tindih, apa yang saya ajukan di bawah ini hanya berupa
sketsa tentang beberapa pemikiran Giddens yang bersifat formal. Artinya,
gagasan yang menjadi kerangka berfikir Giddens untuk memandang berbagai persoalan
substantif, seperti negara-bangsa, modernitas, identitas-diri, dsb. Beberapa
rekan lain akan memasuki gagasan substantif Giddens tersebut.
1. Teori Strukturasi
Pertama dan terutama harus disebut
‘teori strukturasi’. Seperti sudah disebut, hubungan antara ‘pelaku’ (tindakan)
dan ‘struktur’ berupa relasi dualitas, bukan dualisme. Dualitas ini terjadi
pada “praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan
waktu.”[36] Praktik sosial inilah yang seharusnya menjadi obyek utama ilmu-ilmu
sosial. Praktik sosial bisa berupa kebiasaan menyebut pengajar sebagai ‘guru’,
pemungutan suara dalam pemilu, menyimpan uang di bank, bisa juga kebiasaan
membawa SIM sewaktu mengemudi. Praktik sosial itu bisa berlangsung di Jakarta
atau Medan, tahun 1992 maupun 1997. Di mana letak dualitas pelaku-struktur
dalam praktik sosial tersebut?
Dualitas terletak dalam fakta bahwa
skemata mirip “aturan” yang menjadi prinsip bagi praktik di berbagai tempat dan
waktu tersebut merupakan hasil (outcome) keterulangan tindakan kita, dan
sekaligus skemata yang mirip “aturan” itu menjadi sarana (medium) bagi
berlangsungnya praktik sosial kita. Giddens menyebut skemata itu ‘struktur’.
Sebagai prinsip praktik di Jakarta atau Medan, tahun 1992 maupun 1997, struktur
mengatasi waktu dan tempat. Karena itu bisa diterapkan pada berbagai situasi.
Lain dengan pengertian Durkheimian tentang struktur yang lebih bersifat
mengekang (constraining), struktur dalam gagasan Giddens juga bersifat
memberdayakan (enabling). Maksudnya, memungkinkan berlangsungnya praktik
sosial. Itulah mengapa Giddens melihatnya sebagai ‘sarana’.
Meskipun bersifat obyektif,
obyektivitas struktur sosial lain dengan arti struktur dalam fungsionalisme
ataupun strukturalisme (struktur beroposisi dan mengekang pelaku). Bagi
Giddens, obyektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan tak terpisah
dari tindakan dan praktik sosial yang kita lakukan. Struktur bukanlah benda
melainkan “skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial.”[37]
Dualitas struktur-pelaku dengan tepat ditunjuk oleh Roy Bhaskar ketika ia
membedakan ‘struktur sosial’ dari ‘struktur natural’: “struktur sosial, lain
dengan struktur natural, tidak terpisah dari kegiatan yang diaturnya; ...tidak
terpisah dari pemahaman para pelaku tentang kegiatan mereka;... punya jangka
yang relatif” karena dualitasnya dengan pelaku.[38]
Dari berbagai prinsip struktural,
Giddens melihat 3 gugus besar struktur. Pertama, struktur ‘signifikasi’
(signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana. Kedua,
struktur ‘dominasi’ (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang
(politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur ‘legitimasi’
(legitimation) menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam
tata-hukum.[39] Dari contoh di atas, menyebut pengajar sebagai ‘guru’ merupakan
praktik sosial pada gugus struktur-signifikasi. Menyimpan uang di bank
merupakan praktik dalam bingkai struktur-dominasi (penguasaan atas barang dalam
ekonomi kapitalis). Pemungutan suara dalam pemilu juga merupakan praktik pada
lingkup struktur-dominasi, tetapi menyangkut penguasaan atas orang (politik).
Prinsip ‘signifikasi’ pada
gilirannya juga mencakup skemata ‘dominasi’ dan ‘legitimasi’, karena skemata
signifikasi ‘orang yang mengajar disebut guru’ pada gilirannya menyangkut
skemata dominasi ‘kekuasaan guru atas murid’ dan juga skemata legitimasi
‘pengadaan ujian’. Hal yang sama juga berlaku bagi struktur ‘dominasi’ dan
‘legitimasi’. Ringkasan berikut mungkin berguna:[40]
S-D-L : tata simbolis/cara wacana - (lembaga bahasa/wacana)
D (autorisasi)-S-L : tata politik - (lembaga politik)
D (alokasi)-S-L : tata ekonomi - (lembaga ekonomi)
L-D-S : tata hukum
- (lembaga hukum)
Bagaimana kaitan tiga (atau empat)
‘prinsip struktural’ (struktur/skemata) itu dengan ‘praktik sosial’? Skema
berikut memadatkan gagasan kaitan antara keduanya:[41]
STRUKTUR = signifikansi dominasi
legitimasi
(sarana-antara) = bingkai
interpretasi fasilitas norma
INTERAKSI = komunikasi kekuasaan
sangsi
Dalam skema di atas, dualitas
struktur dan pelaku berlangsung sebagai berikut. Ambillah konsepsi struktur
sebagai ‘sarana’ (medium) praktik sosial. Tindakan dan praktik sosial
‘berkomunikasi’ selalu mengandaikan struktur ‘signifikasi’ tertentu, misalnya
tata-bahasa. ‘Penguasaan’ atas barang (ekonomi) dan orang (politik) melibatkan
skemata ‘dominasi’, sebagaimana penerapan ‘sangsi’ mengandaikan skemata
‘legitimasi’.
Demikian pula arus sebaliknya:
struktur sebagai ‘hasil’ (outcome) dari praktik sosial. Pembakuan
korporatisme-otoriter Orde Baru sebagai skemata ‘signifikasi’ terbentuk lewat
keterulangan praktik ‘wacana’ asas-tunggal. Negara otoriter-korporatis Orde
Baru makin menjadi skemata ‘dominasi’ yang baku dari keterulangan praktik
‘penguasaan’ melalui wadah-wadah tunggal seperti PWI, KORPRI, SPSI, Dharma
Wanita, dsb. Begitu juga skemata ‘legitimasi’ korporatisme Orde Baru menjadi
baku dari keterulangan penerapan ‘sangsi’ terhadap para pegawai-negeri yang
tidak mau menjadi anggota KORPRI.
Namun seperti jelas dari skema,
dualitas selalu melibatkan sarana-antara. Dalam contoh di atas,
korporatisme-otoriter Orde Baru mengandaikan ‘bingkai-interpretasi’ tertentu
atas arti wacana asas-tunggal: misalnya, tak boleh ada AJI di samping PWI.
Dalam dualitas struktur-dominasi dan praktik-penguasaan, misalnya, jabatan
menteri menjadi ‘fasilitas’ si Menteri untuk memerintahkan seorang Dirjen agar
selanjutnya mengharuskan semua anak buahnya memilih Golkar. Tentang dualitas
legitimasi dan sangsi, ‘norma’ bahwa pegawai negeri = anggota KORPRI/Golkar
bisa menjadi dasar untuk mengucilkan atau bahkan mem-PHK seorang pegawai negeri
yang menjadi pimpinan PDI.
Reproduksi sosial berlangsung lewat
dualitas ‘struktur’ dan ‘praktik sosial’ tersebut. Soalnya ialah apakah kita
para pelaku tahu akan hal itu, ataukah kita hanya seperti wayang di tangan
(para) dalang dalam (berbagai) lakon yang telah ditentukan, seperti status
pelaku dalam fungsionalisme Parsons atau Marxisme Althusser? Jawaban Giddens
lugas: kita tahu. Akan tetapi, ‘tahu’ tidak harus diartikan sebagai ‘sadar’,
apalagi sebagai kapasitas menjelaskan semua proses secara eksplisit. Giddens
membedakan 3 dimensi internal pelaku: motivasi tidak sadar (unconscious
motives), kesadaran praktis (practical consciousness), dan kesadaran diskursif
(discursive consciousness).[42]
‘Motivasi tak sadar’ menyangkut
keinginan/kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah
tindakan itu sendiri. Sangat jarang tindakan pergi ke kantor digerakkan oleh
motif mencari uang (kecuali mungkin pada hari gajian), sebagaimana amat jarang
memakai seragam KORPRI digerakkan oleh motif memperkuat korporatisme Orde Baru.
‘Kesadaran diskursif’ mengacu pada kapasitas kita merefleksi dan memberi
penjelasan eksplisit atas tindakan kita. Mengapa saya memakai seragam KORPRI?
Jawab: karena saya menghindari teguran dari atasan. ‘Kesadaran praktis’
menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Tahu
aturan memakai seragam KORPRI setiap tanggal 17, diam saat masuk tempat ibadah,
adalah bentuk kesadaran praktis. Dalam fenomenologi, inilah level yang berisi
gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted). Gugus pengetahuan
yang sudah diandaikan ini merupakan sumber ‘rasa-aman ontologis’ (ontological
security).[43] Melalui level ini kita tahu bagaimana melangsungkan hidup harian
tanpa mempertanyakan terus-menerus apa yang terjadi atau harus dilakukan: dari
cara memasak, sampai tindakan berhenti ketika lampu lalu-lintas berwarna merah.
Rutinisasi hidup personal dan sosial terjadi melalui gugus kesadaran praktis
ini.
‘Kesadaran praktis’ merupakan kunci
untuk memahami strukturasi. Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan
praktik sosial yang jarang kita pertanyakan lagi. Dari kebiasaan berhenti
ketika lampu lalu-lintas berwarna merah, sampai rutinitas suap-menyuap dalam
KKN. Tidak berarti bahwa tak ada perubahan. Menurut Giddens, perubahan selalu
terlibat dalam proses strukturasi, betapapun kecilnya perubahan itu.[44] “Batas
antara kesadaraan-praktis dan kesadaran-diskursif sangatlah lentur dan
tipis,... tidak seperti antara kesadaran diskursif dan motivasi tak sadar.”[45]
Dengan meminjam gagasan Goffman, Giddens mengajukan argumen bahwa sebagai
‘pelaku’, kita punya kapasitas memonitor diri secara refleksif (strategic
monitoring of conduct). Perubahan terjadi ketika kapasitas ini menggejala
secara luas sehingga berlangsung de-rutinisasi. ‘De-rutinisasi’ menyangkut
proses di mana skemata yang selama ini menjadi ‘aturan’ (rules) dan
‘sumber-daya’ (resources) tidak lagi memadahi sebagai prinsip pengorganisasian
berbagai praktik sosial, atau yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktik
sosial baru.
Lalu apa kaitan antara ‘struktur’,
‘praktik sosial/pelaku’ dan apa yang biasanya disebut ‘sistem sosial’? Sistem
sosial merupakan institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial.
Contoh skematis tentang ekonomi kapitalis berikut ini mungkin berguna.
STRUKTUR
SOSIAL SISTEM SOSIAL PRAKTIK SOSIAL
S
(keramatnya hak milik pribadi)-D-L
Perusahaan: rapat
board,produksi
D
(tingkatan garis otoritas)-S-L
institusionalisasi dan barang/jasa,pembukuan
D
(konsentrasi pemilikan modal)-S-L
regularisasi dari praktik
rekrutmen,transaksi,
L
(peraturan kontrak kerja)-D-S berdasar
skemata S-D-L
investasi,reklame,dsb.
Uraian
ringkas di atas juga berguna untuk memperjelas konsep-konsep yang biasa kita
pakai. Istilah ‘kekuasaan’ (power) harus dibedakan dengan istilah ‘dominasi’
(domination). Dominasi mengacu pada skemata asimetri hubungan pada tataran
‘struktur’, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan
sosial pada dataran ‘praktik sosial/interaksi’. Bagi Giddens, kekuasaan
bukanlah gejala yang terkait pada sistem, melainkan kapasitas yang inheren pada
‘pelaku’ (actor), dan karenanya selalu menyangkut kapasitas transformatif.[46]
Penguasaan terjadi lewat mobilisasi struktur ‘dominasi’. Seperti sudah disebut,
ada 2 sumber-daya yang membentuk skemata dominasi: penguasaan alokatif atas
barang (ekonomi) dan autoritatif atas orang (politik). “Kekuasaan... terbentuk
dalam dan melalui reproduksi [dua] struktur dominasi” ini.[47] Kesalahan Marx
terletak dalam reduksi penguasaan alokatif (cara produksi).[48] Karena
kekuasaan merupakan kapasitas yang inheren pada ‘pelaku’, tak pernah mungkin
terjadi penguasaan total atas orang lain, entah dalam sistem totaliter,
otoriter, ataupun penjara.
Perbedaan
tataran dalam dualitas struktur dan pelaku juga berguna untuk memahami istilah
konflik (conflict) dan kontradiksi (contradiction). Konflik mengacu pada
“pertikaian antar para pelaku atau kelompok dalam praktik sosial yang
kongkret”, sedang istilah ‘kontradiksi’ menunjuk “kondisi pertentangan
prinsip-prinsip struktural pengorganisasian suatu masyarakat” pada tataran
S-D-L.[49]
Lalu
apa ‘ideologi’ (ideology)? Menurut Giddens, “tak ada sesuatu yang disebut
ideologi: yang ada hanya aspek-aspek ideologis dari sistem simbol.”[50] Dan
“menganalisa aspek-aspek ideologis... adalah mengkaji bagaimana struktur
signifikasi dimobilisir untuk membenarkan kepentingan sempit kelompok-kelompok
yang berkuasa.”[51] Dan ‘budaya’ (culture)? Giddens tidak pernah mengajukan
definisi formal tentang ‘budaya’. Pada hemat saya ada dua kemungkinan. Pertama,
dari sudut pengertian yang biasa dipakai oleh para antropolog (sebagai
keseluruhan cara hidup), ‘budaya’ menyangkut seluruh gugus skemata yang menjadi
prinsip praktik sosial, atau ‘struktur’ dalam pengertian Giddens (seluruh
S-D-L). Kedua, dari arti yang biasa dipakai oleh para sosiolog, ekonom dan
politikolog (sebagai gugus nilai), ‘budaya’ lebih mengacu pada
skemata-signifikasi dan kegiatan dalam lingkup skemata-signifikasi (misal:
ritus, cara-wacana). Dalam hal ini ‘budaya’ hanya menunjuk pada S
(signifikasi), dan bukan D serta L. Saya kira konsepsi Giddens tentang ‘budaya’
lebih dekat dengan pengertian kedua. Hal itu juga lebih bisa menjelaskan
mengapa dalam ilmu-ilmu sosial, analisis tentang ideologi biasanya terkait erat
dengan analisis tentang budaya.
Itulah
sketsa ringkas tentang teori strukturasi. Teori strukturasi merupakan konsepsi
epostemologis yang mendasari karya-karya Giddens sesudah tahun 1980.
Kelenturannya berpindah dari analisis makro ke mikro, dan sebaliknya, hanya
mungkin oleh epistemologi strukturasi ini.[52] Para ilmuwan sosial cukup
sepakat bahwa sementara ini hanya ada 3 orang yang mengajukan sintesis hubungan
agency dan structure yang, meskipun tetap punya kelemahan, dipandang jauh lebih
memadahi dibanding berbagai pemikiran lain. Ketiga orang itu ialah Anthony
Giddens, Pierre Bourdieu lewat konsepsi habitus, dan almarhum Norbert Elias
dengan gagasan figuration.[53]
2.
Perentangan Waktu-Ruang
berikut
--------------------------------------------------------------------------------
Catatan
kaki :
[1]
‘Runaway World’ ialah judul dari 5 kuliah publik (the 1999 Reith Lecture) yang
diberikan oleh Anthony Giddens dari London, Delhi, Hong Kong dan Washington
lewat Radio BBC 4 dan disiarkan ke seluruh dunia, 7 April - 5 Mei 1999. Baru
saja terbit sebagai buku berjudul Runaway World.
[2]
Tahun ini Giddens dipilih sebagai orang no. 12 paling berpengaruh di Inggris
dalam dunia pendidikan, sesudah orang-orang seperti Perdana Menteri dan Menteri
Pendidikan. ‘Power List 1999’, The Sunday Times (Sept. 26, 1999), hlm. 19.
[3]
The Economist, 19 Sept 1998, hlm. 72; tentang jaringan ‘the Third Way
think-tank’ yang menghubungkan kelompok baru demokrat-sosialis di Eropa dan AS
di mana Anthony Giddens terlibat, Newsweek, Dec. 28, 1998/Jan. 4, 1999, hlm.
44-47. Pada tanggal 21 November 1999, di Florence (Italia), berkumpul para
kepala negara dan jaringan ‘The Third Way’ think-tank ini untuk mengkaji arti
dan kebijakan ‘kiri-tengah’ dalam konperensi yang diberi nama ‘Progressive
Governance in the XXI century’. Di situ berkumpul Tony Blair (Inggris), Lionel
Jospin (Perancis), Gerhard Schrِder (Jerman), Massimo D’Alema
(Italia), Bill Clinton (AS), dan Fernando Cardoso (Brasil). The Observer, 21
Nov. 1999, hlm. 30; The Independent, 21 Nov. 1999, hlm. 23.
[4]
CMST.
[5]
Bisa disimak secara rinci dalam CPST; STMS.
[6]
NRSM, hlm. 4.
[7]
CS, hlm. 2.
[8]
CS, hlm. 2; CAG, hlm. 76.
[9]
CPST, hlm. 2.
[10]
Erving Goffman, Frame Analysis, New York: Harper, 1974.
[11]
Talcott Parsons, The Structure of Social Action, New York: Free Press, 1949.
[12]
NRSM, hlm. 29-30, 102-106.
[13]
Talcott Parsons melewati tiga tahap refleksi teoretik. Pertama, tahap ketika
dia menyusun teori tindakan voluntaristik, dengan fokus pada tindakan
individual, (The Structure of Social Action, Glencoe: Free Press, 1949). Kedua,
periode ketika Parsons meninggalkan teori tindakan individual ke teori sistem
sosial, (The Social System, New York: Free Press, 1951). Ketiga, tahap ketika
Parsons menerapkan fungsionalisme pada evolusi masyarakat, (Societies,
Evolutionary and Comparative Perspectives, Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
1966). Fungsionalisme Parsons telah mempengaruhi seluruh generasi ilmuwan
sosial yang menjadi panutan para guru kita: WW. Rostow (ekonomi), David
McClelland (psikologi), Robert Merton (sosiologi), Samuel Huntington (ilmu
politik), dsb.
[14]
Talcott Parsons & Edward Shils (eds.), Toward a General Theory of Action,
Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1951, hlm. 190.
[15]
CPST, hlm. 113.
[16]
CCHM, hlm. 16.
[17]
CPST, hlm. 113.
[18]
Karya Richard Robison (Indonesia: the Rise of Capital, 1986), misalnya, punya
kecenderungan fungsionalis ini, misalnya hlm. 391-396.
[19]
Terutama dalam For Marx, London: New Left Book, 1977; CPST, hlm. 112, 157; CS,
hlm. 217.
[20]
Erik Olin Wright, ‘Models of Historical Trajectory: an Assessment of Giddens’s
Critique of Marxism’, dalam D. Held & JB. Thompson (eds.), Social Theory of
Modern Societies: Anthony Giddens and His Critics, Cambridge: Cambridge
University Press, 1989, hlm. 78.
[21]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, London: Peter Owen, 1960,
hlm. 14.
[22]
CPST, hlm. 38.
[23]
Jacques Derrida, Of Grammatology, Baltimore: John Hopkins University Press,
1976.
[24]
CPST, hlm. 63; bandingkan juga dengan STMS, hlm. 61.
[25]
Keluasan telaah kritis Giddens terhadap berbagai pemikiran dalam ilmu-ilmu
sosial bisa dilihat misalnya dalam STMS.
[26]
CPST, hlm. 53.
[27]
NRSM, hlm. 81; CPST, hlm. 55.
[28]
NRSM, hlm. 125-126; CPST, hlm. 63; CS, xxxi.
[29]
NRSM, hlm. 128-129; CPST, hlm. 5; CS, hlm. 374.
[30]
Pertama kali diajukan dalam NRSM, hlm. 127; uraian formal dilakukan dalam CS;
CAG, hlm. 75-76.
[31]
CCHM, hlm. 30; CPST, hlm. 3-4.
[32]
CCHM, hlm. 69-108.
[33]
NSV, hlm. 120.
[34]
CM, hlm. 17-21.
[35]
BLR, hlm. 4.
[36]
CS, hlm. 2.
[37]
CS, hlm. 25.
[38]
Roy Bhaskar, The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the
Contemporary Human Sciences, Brighton: Harvester Press, 1979, hlm. 48-49.
Bandingkan juga dengan CAG, hlm. 87.
[39]
CPST, hlm. 82; CS, hlm. 29-33.
[40]
CCHM, hlm. 47; CS, hlm. 33.
[41]
NRSM, hlm. 129; CPST, hlm. 82; CS, hlm. 29.
[42]
CS, hlm. 5-7.
[43]
CS, hlm. 50.
[44]
CPST, hlm. 114, 210.
[45]
CS, hlm. 4.
[46]
CPST, hlm. 91-92.
[47]
CS, hlm. 258.
[48]
Kritik ini juga Giddens tujukan terhadap konsepsi ‘world-system’ Immanuel
Wallerstein: “Wallerstein’s arguments involve an uncomfortable amalgam of
functionalism and economic reductionism... The existence of semi-peripheral
regions is explained by reference to the ‘needs’ of the world-system... The concepts
of ‘core’, ‘semi-periphery’ and ‘periphery’ are obviously in any case fairly
crude, as are their rough counterparts in other writing of ‘First’, ‘Second’
and ‘Third’ worlds. Political and military strength are not straightforwardly
an expression of economic development, even if closely related to it.” NSV,
hlm. 167, 168. Juga NSV, hlm. 254, 292-93. Korea Utara, India, atau Pakistan,
misalnya, pastilah bukan ‘core’ dalam konsepsi world-system, namun menjadi
bagian ‘pusat’ dalam sistem militer dan persenjataan.
[49]
CPST, hlm. 131; CCHM, hlm. 231.
[50]
CPST, hlm. 187.
[51]
CPST, hlm. 188; CAG, hlm. 92.
[52]
Dua catatan. Pertama, sebagai kritik terhadap ‘materialisme historis’, Giddens
dalam The Nation-State and Violence (1985), misalnya, mengajukan analisis
makro: bahwa faktor ‘autoritatif’ (politik) yang kemudian menjadi sistem
negara-bangsa tidak kalah menentukan dibanding faktor ‘alokatif’ (ekonomi) yang
diajukan Marx. Sedang dalam The Transformation of Intimacy (1992), Giddens
mengupas persoalan pada dataran ‘diri’ dan hubungan-hubungan pribadi.
Kedua,
teori strukturasi strategis untuk memahami proses dalam lingkup ‘makro’ maupun
‘mikro’. Pada keduanya, logika strukturasi menunjuk pada apa yang biasa disebut
‘the problematic of structuring’. Contoh gejala makro: bagaimana keterulangan
tindakan membeli dan menjual tawanan menjadi institusi ‘perbudakan’, bagaimana
keterulangan tindakan mengorganisir dan mengontrol jumlah besar tenaga kerja
berdasar standardisasi aturan menjadi institusi ‘birokrasi’. Contoh proses
‘mikro’: kalau nafsu akan keuntungan ada pada setiap orang, mengapa hanya
beberapa orang (misalnya Liem Sioe Liong) menjadi kapitalis?
[53]
Seperti Giddens, Bourdieu juga melihat bahwa kontradiksi antara ‘struktur’ dan
‘pelaku’ merupakan kontradiksi semu, karena keduanya tak terpisah dalam
‘praktik sosial’. Lewat konsepsi yang cukup dekat, Bourdieu menamakan ‘struktur
mental’ bagi apa yang Giddens sebut ‘skemata’, dan ‘kesadaran praktis’ dalam
konsepsi Giddens disebut ‘habitus’ dalam konsepsi Bourdieu. Melalui ‘habitus’
itulah reproduksi praktik sosial berlangsung. Lihat Pierre Bourdieu, Outline of
a Theory of Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 1977; tentang
Norbert Elias, lihat The Civilizing Process (2 vols.), Oxford: Blackwell, 1978.
Lihat juga, misalnya, Christopher Lloyd, Explanation in Social History, Oxford:
Basil Blackwell, 1986, hlm. 304-312; Nicos Mouzelis, Sociological Theory: What
Went Wrong?, London: Routledge, 1995.
*
B. Herry Priyono - Doktor PhD pada London School of Economics
(LSE), Inggris.
Tulisan
Ini disampaikan dalam Simposium “Anthony Giddens tentang Modernitas”, Jakarta,
4 Desember 1999. Seorang peneliti
lepas. Dia adalah Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat
"Driyarkara" di Jakarta dan juga mantan wakil
direktur Institut Sosial Jakarta (ISJ). Dia juga
menjadi dosen tamu di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
dan secara informal mengajar di beberapa kelas di berbagai
institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Dokumen - Komunitas Cahaya