Oleh:
Lukni Maulana *
“Apa yang telah kau bawa dan mengapa kau telusuri
jalan-jalan di tengah gelap malam seperti ini”. Desir angin di tengah malam
pekat gulita semerbak wangi bunga, suara itu muncul di balik semak-semak
perasaan orang ingin mencari sesuap nasi.
“Tidak aku hanya ingin memasang sepanduk calon
pemimpinku yang telah memberikan aku sesuap rupiah di kantongku”. Jawaban itu
muncul dari hatinya yang yakin bahwa dirinya tidak akan melakukan kesalahan dan
memang ia memikul tanggung jawab untuk memasang apa yang telah di perintahkan
atasanya.
“Engkau
masihkah di antara kesadaran atau kau hanya melaksanakan karena rupiah telah
membungkus kaki dan tanganmu, apakah engkau tidak merasakan bahwa dirimu telah
memadamkan kehijauan kota dengan menutupinya dengan wajah-wajah yang belum
tentu berperangai mulia”.
“Ya…inilah perebutan kursi kekuasaan dan mereka semua
merebutkannya serta tidak ada yang menggalah sebelum perhitungan tercapai
kesepakatan. Apakah kau tahu bahwa diriku hanya bisa memanfaatkan momentum ini.
Apakah aku bisa duduk di kursi jabatan yang mana aku tidak mengerti hal apa
yang menarik di sana. Aku hanya bisa menarik becak kumuh ini.”
Seketika itu pohon-pohon taman kota telah rimbun
dedaunan yang berwarna-warni ada yang merah, hijau, kuning, biru pokoknya sangat
beragam jenis. Dedaunan itu saling bersaing dan tidak terjadi kerukunan yang
semestinya di jaga untuk satu persatuan. Namun persatuan itu hanya di tulis
dengan berbagai moto kemakmuran dan kesejahteraan bagi mereka yang mau
mendukung salah sutu warna. Alangkah indah kegelapan di malam ini yang sangat
pekat dan hitam. Hati dan jiwaku seakan menjadi tenang di tengah sinar rembulan
yang tidak begitu terang sebab sang rembulan telah di tutupi awan berwarna biru
pekat untuk menyelimuti indah sinar cahayanya.
Tidak ada bintang yang menyala. Tidak ada hiasan apa pun
di tengah kota ini, yang ada hanya bagunan bertingkat yang megah dengan dinding
tembok yang begitu tebalnya. Tidak ada tirai terbuat dari batik dalam negeri,
adanya hanya batik demokrasi untuk menentukan kesejahteraan bumi pertiwi. Tidak
ada apa….., tapi ada sesuatau yang terlihat sesak di semua tempat di pingir
jalan, trotoar, taman kota dan pepohonan di pingir jalan serta reklame, poster
yang terpajang lebar di angkasa yaitu demokrasi politik.
Di antara kegelisahan hatinya, kupingnya telah terasuki
kampanyae politik yang melantun penuh melodi kerinduan kemerdekaan.
Otak-pikiran telah menjadi samudra yang siap menampung semua hal tentang keluh
kesah untuk satu kemenangan. Ini adalah episode baru di tengah kota dan desa.
Kalau kota mendeklarasikan untuk satu kemakmuran kekuasaan sedangkan desa tidak
taulah. Yang tahu hanya penduduknya yang hanya menuruti semua hal yang menjadi
kewajibannya sebagai warga negara.
Suatu ketika pernah datang calon pemimpin di desa Pak
Kardi. Pemimpin itu sangat berwibawa dengan di iringi mobil-mobil mewah merk
luar negeri, ya...pastilah Indonesia saja hanya tempat memproduksi dan tempat
orang yang siap jadi budak untuk berkerja.
Pemimpin itu hanya memakai pakaian batik khas Pekalongan,
mungkin ingin menyesuaikan dengan penduduk desa, dia tidak memakai jas berdasi
yang biasa digunakan untuk bertemu pejabat satu letingnya. Tapi batik yang
menempel di tubuhnya tidak sebagus pakaian yang menutupi tubuh penduduk desa.
Penduduk desa menyambutnya dengan kemeriahan. Tangan
pemimpin penuh kecupan lipstick produk kampungan dan bibir-bibir yang ingin
mengusap kelembutan tangan calon pemimpinnya yang diakui akan memberikan
kemakmuran di desanya.
Suara rebana bertabuh semakin kencang, sekencang suara
sirene polisi yang ingin menangkap penjahat. Shalawat badar menyambut, laksana
kemenangan di dalam peperangan politik.
Di desa itu hanya di suguhi pengajian atau dakwah yang
mengundang Dai ternama di tanah air ini. Dan semua penduduk desa menikmati
penyampaian materi oleh Dai kondang tersebut, suara lembutnya telah menusuk
hati penduduk desa. Setelah dai itu memberikan wejangan atau nasehat yang
mengebu-ngebu tentang pemimpin yang berbudi untuk bangsa. Gantian calon
pemimpin itu maju kepangung menyuarakan kampanye politiknya di hadapan penduduk
desa.
Dan gemuruh tepuk tangan menghiasi keakaraban penduduk
desa yang telah di janjikan berbagai kenikmatan dan kemudahan dan inilah janji
poitik tawaran.
Tidak heran jika hiasan calon pemimpin juga masuk desa,
bukannya pembangunan yang semestinya masuk desa malahan perebutan kekuasaan
pendukung dan simpatisan.
Pak Kardi hanya pengayuh becak yang mencari rizeki
penumpang di pasar dan desaku telah ramai dengan gosip politik, yang mereka
tahu hanya bagaimana gizi bisa menambal perutnya bukannya visi dan misi
pemimpin yang mereka kampayekan.
* * *
Pagi itu banyak orang berkerumun di sekitar lapangan
sepak bola, bukan maksud ada turnamen tapi ini adalah mereka berseragam
berwarna biru. Warna biru telah memadatinya seperti langit terang dengan
kecerahan bukannya mendung yang di harapkan.
Ada beberapa ibu-ibu dan anaknya bertengger di bawah
pohon beringin, karena terik matahari semakin terus meninggi menyilaukan wajah
kusutnya, seperti biasa mereka menunggu kicauan burung ingin menetaskan telur.
Ibu-ibu itu asyik ngobrol beberapa persoalan tampak anak-anaknya bermain
sendiri di tengah kerumunan masa. Satu,
dua, tiga kicau burung berbunyi, wajah-wajah kepanasan berseri-seri.
“Aku adalah satu yang akan memberikan kemakmuran.
Bukankah itu nyata dan tidak ada kemunafikan”. Tuan berwarna biru berjaskan
hitam dengan dasi yang berkilauan berwasiat.
“Suaraku ini bukanlah raksasa yang kelaparan dan menunggu
mangsa. Tapi suaraku adalah mimpi kalian, harapan kalian semua yang ada di
tengah lapangan ini”. Suaranya semakin
tegas dan meyakinkan.
“Alangkah hinanya aku jika kalian sengsara dan aku akan
membuat hidup kalian semua tidak lagi di bawah garis kemiskinan”.
Dan pagi telah mengantar siang mendiskusikan permasalahan
negeri yang kaya duniawinya. Kemudian pemimpin itu keluar dari pangung seketika
itu pula banyak orang yang ingin membelai manis tangannya di tengah kerumunan
masa. Mobil sedan berpacu pelan melambaikan tanganya ke arah masa.
“Ya...Allah sudah hampir pukul dua siang. Aku belum
menjalankan ibadah shalat”. Pak Kardi kaget seketika matanya yang melirik jam
orang di sampingnya.
Bergegas Pak Kardi menghampiri istri dan anaknya yang
bercengkrama di bawah pohon dan terlihat anaknya berlari-lari kecil menghampiri
pangilan bapaknya.
“Ardi ayo kemari sudah besar ya sekarag kamu, sana ajak
ibu ke becak”.
Pak Kardi berjalan mendekati becak yang menjadi tumpuan
hidupnya. Namun masa yang begitu banyaknya membuat dirinya kesulitan karena
banyak berjubel kendaraan, mobil dan truk memadati area parkir. Untung saja Pak
Kardi sangat gesit, di kayuhnya becak yang telah di tumpangi istri dan anaknya
untuk menuju masjid terdekat. Kecepatan ayunan hanya memberikan sedikit ruang
bergerak, banyak mobil dan kendaraan berlalu-lalang dengan benderanya menutupi
semua pandangannya.
Kepala Pak Kardi semakin pening. Sakit kepala yang di
deritanya sejak satu bulan lalu seakan kambuh lagi, pandangannya mulai kabur,
penglihatanya semakin tidak tajam. Ternyata sakit kepalanya sangat berpengaruh
pada matanya.
“Brak”.
Mobil berplat kuning telah menabrak becak tua. Seketika
itu Pak Kardi terjatuh tidak sadarkan diri, darah keluar dari badannya menembus
pakaian yang membungkus kulitnya. Kerumunan masapun sedikit terganggu,
mata-mata itu melirik dan mendekatinya ingin melihat kejadian tersebut. Mereka
berjubel menyaksikan seorang bapak dan keluarganya yang tertabrak bus angkutan
umum. Sejenak waktu masa melanjutkan pawai menuju daerah yang menjadi rute
perjalanan kampanye.
“Ardi”.
“Apakah ini kesejahteraan yang kau impikan, apakah ini
mimpimu yang engkau cita-citakan”. Teriakan itu muncul dari mulut Pak Kardi
yang belum tersadarkan. Ternyata dirinya telah berada di rumah sakit daerah.
“Mana anak dan istriku”. Teriak Pak Kardi pada salah
seorang yang berada di sampingnya.
“Sabar ya...Pak, istri bapak ada di ruang sebelah dan
tidak apa-apa coba lihat saja”. Pemuda itu menatap kearah pandangan Pak Kardi
dengan kepercayaan yang mendalam.
Bergegas Pak Kardi menuju ruangan istrinya. Dalam
pikirnya hanya terlintas pada kondisi kesehatan istri dan anaknya si Ardi,
bukanya berapa duit untuk membayar biaya berobatnya. Matanya dan hatinya
tersontak diam beribu kata.
Di lihatnya istri tercintanya menagis tersedu-sedu di
ranjang berwarna putih di bawah telapak tangan ardi yang lemas dan belum
sadarkan diri. Ardi telah mengalami benturan keras yang mengakibatkan
kesadarannya belum kembali.
Tubuh Ardi penuh dengan luka, darah merah sedikit keluar
dari tubuhnya namun matanya belum mampu melek tajam. Pak Kardi bersimpuh di
pangkuan istrinya seraya meminta maaf.
Tangis air mata suami istri menyinari seluruh isi ruangan
atas keperihatinan Arjuna yang beranjak remaja.
* * *
Wong ngaurip wus tamtu, akeh padha arebut piyangkuh,
lumuh lamun kasor kaseser sathithik, nanging singa peksa unggul, ing wekasan
dadi asor.[1]
“Ardi anakku maafkan Bapakmu ini yang telah mengajarkanmu
tentang kebebasan dan demokrasi. Orang hidup itu selalu ingin mendapatkan
kenikmatan dan kekuasaan”.
“Ardi anakku Bapakmu akan memberikan segalanya untukmu
kemakmuran, kebahagiaan dan kesejahteraan bukan orang lain, maafkanlah
perbuatan Bapakmu yang salah mengajarkanmu tentang gengsi kota. Tidak seorang
pemimpin yang berebut kekuasaan yang menjerumuskan dia menjadi orang hina”.
“Untuk Ardi dan Istriku sabarlah di perbaringan ini,
Bapakmu akan mencarikan uang untuk membawamu ke gubuk indah yang kita miliki di
desa, bukanya kota yang penuh janji-janji dan mimpi. Bukan hina yang kita
inginkan tapi kemulyaan di sisi Tuhan, banyak pemuka agama, konglemerat,
pendidik dan politikus belajar demokrasi yang tidak tahu arah yang
mengakibatkan terjerumus di lembah kehinaan dan syahwat nikmat dunia serta
nafsu menjadi orang nomor satu di negeri republik tercinta”
“Tunggulah Bapakmu untuk kembali dalam kebahagian
keluarga yang kita idamkan”.
Pak Kardipun menuju mushola yang berada di rumah sakit.
Ia jalankan kewajibannya sebagai orang yang beriman, namun jiwanya semakin
terluka ketika melihat Ardi anak semata wayangnya ia ajarkan tentang demokrasi
yang sebelumnya belum pantas untuk di terima.
“Ampunilah hambamu ini Ya...Tuhan yang maha pengasih dan
penyayang. Aku telah melakukan kehinaan, kebohongan, kemunafikan dan kebodohan
dengan kalimat demokrasi untuk anak dan istriku.
* * *
Cerpen ini pernah diterbitkan di Bulletin Suket Teki SKM
Amanat IAIN Walisongo Semarang
* Lukni Maulana - Pendiri dan Pengasuh Komunitas Cahaya. Tulisannya pernah dimuat di Suara Merdeka, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Barometer. Kumpulan Puisinya tergabung dalam Antologi Puisi Menolak Korupsi, Antologi Puisi untuk Gus Dur dan Antologi Puisi Selayang Pesan Penghambaan dan Kumpulan Puisi tunggalnya berjudul, "Ajari Aku Jadi Orang Indonesia"
Terus berkarya dan tekuni Komunitas ini menjadi komunitas yang aktif. Seperti Jangka Langit dari SMP hingga sekarang masih ada.
BalasHapusDemokrasi kita mengajarkan tumpah darah, tumpah keringat dan duti. Namun Komunitas adalah demokrasi untuk saling berbagi.