KALIMASADA, dalam tradisi dikenal sebagai bentuk pengucapan lain untuk kalimah syahadah, sejajar dengan pengucapan sekaten untuk syahadatain. Tapi, berbeda dengan pembentukan istilah sekaten, istilah kalimasada konon punya akar yang lebih panjang, karena istilah ini sudah ada sebelum Islam.
Istilah Kalimasada konon berasal dari kata
Kalimahosaddha. Istilah ini ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha
yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada
masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah
tersebut adalah bentukan dari Kali-Maha-Usaddha, yang artinya "obat
mujarab Dewi Kali".
Kali adalah salah satu dewi yang populer dalam
agama Hindu, dikenal juga sebagai Dewi Durga dan selalu diasosiasikan
sebagai penyebar penyakit, kematian dan kerusakan.
Kecuali
dihubungkan dengan Dewi Kali, salah satu kisah pewayangan Jawa
menceritakan versi lain asal-usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada.
Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari
Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya,
yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara,
Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.
Batara Guru
raja kahyangan meminta bantuan Resi Satrukem dari pertapaan Sapta Arga
untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Satrukem
berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah
menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus
Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah,
sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.
Satrukem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya
secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama Resi Wyasa
atau Abyasa. Ketika kelima cucu Abyasa, yaitu para Pandawa membangun
kerajaan baru bernama Amarta, pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan
kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.
Dalam
Kakawin Bharatayuddha dikisahkan perang besar antara keluarga Pandawa
melawan Kurawa. Pada hari ke-18 panglima pihak Kurawa yang bernama Salya
bertempur melawan Yudhistira. Salya yang bersenjata pusaka Aji
Candrabirawa, dihadapi oleh Yudhistira yang melemparkan kitab pusakanya
yang bernama Kalimahosaddha ke arah Salya. Kitab tersebut berubah
menjadi tombak yang menembus dada Salya.
***
Kalimasada selalu
dihubungkan dengan jimat atau jamus, sehingga berbunyi Jimat Kalimasada
atau Jamus Kalimasada. Jimat adalah serapan dari bahasa Arab ‘azima,
kurang lebih bermakna sesuatu yang bisa memberi kekuatan, sesuatu yang
dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya dari bala
dan penyakit. Sementara Jamus bermakna serat atau surat.
Dalam
cerita pewayangan versi Jawa, Prabu Yudhistira mengamanatkan Jimat
Kalimasada tersebut kepada Sunan Kalijaga. Dikisahkan bahwa Prabu
Yudhistira baru bisa meninggal setelah diwejang oleh Sunan Kalijaga
tentang makna sejati Jimat Kalimasada.
Cerita pewayangan versi ini
tampaknya tidak disikapi sekedar sebagai mitos, tapi kemudian
benar-benar dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi banyak pihak yang
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Salah satunya muncul dalam Babad
Diponegoro. Dalam Babad yang konon ditulis oleh Pangeran Diponegoro ini,
cerita tersebut dipakai sebagai salah satu argumen untuk melawan
Belanda. Atas dasar cerita tersebut, Pangeran Diponegoro menegaskan
bahwa Jawa adalah milik bangsa Jawa yang keturunan Pandawa dan berpusaka
Kalimasada, oleh karena itu Belanda sama sekali tak berhak atasnya.
Nah, kalau dalam cerita pewayangan Jimat Kalimasada pernah dipakai oleh
Prabu Yudhistira untuk mengalahkan keangkara-murkaan Salya beserta
raksasa-raksasa ciptaan Aji Candrabirawa-nya; apakah saat ini Jimat
Kalimasada sekali lagi dapat kita gunakan untuk melumpuhkan
raksasa-raksasa hasil perkawinan negara adi daya dan kapitalisme global
yang sedang mencengkeram kita? Atau, jangan-jangan Jimat Kalimasada itu
malah sudah tak kita rawat lagi?
* Anis Sholeh Ba’asyin - Pengasuh Rumah Adab Indonesia Mulia
Dokumen - Komunitas Cahaya