Islam Mistis dan Islam Normatif
LATAR belakang
pemikiran Woodward tentang Islam dan Jawa adalah untuk menjawab pertanyaan
Hodgson, yaitu kenapa Islamisasi di Jawa berjalan begitu sempurna ? Menurutnya,
Islamisasi di Jawa sangat berhasil karena Islam telah dipeluk dan dijadikan
agama kerajaan oleh pemerintahan keraton Mataram dan rakyatnya untuk membangun
konsepsi tentang teori kenegaraan.
Dari dasar pemikiran ini, Woodward menyusun empat ciri pokok paham Jawa yang
selaras dengan paham Islam, yaitu (1) konsep tentang keesaan Tuhan; (2) konsep
mengenai makna lahir dan makna batin; (3) konsep hubungan antara kawulo (hamba)
dengan Gusti (Tuhan); dan (4) konsep tentang makrokosmos dan mikrokosmos. Berdasarkan keselarasan dalam keempat konsep ini Woodward sampai
pada kesimpulan bahwa semua kepercayaan di Jawa berpangkal pada keempat pokok
masalah ini, terlebih khusus hampir semua kepercayaan di Jawa berujung pada
konsep adanya Dzat Yang Maha Tinggi, yang tidak lain Tuhan Yang Esa. Karena
pijakan inilah, Woodward berkesimpulan bahwa berbagai kepercayaan di Jawa pada
dasarnya adalah telaah Islam.
Muncul pertanyaan, bagaimana Woodward menyikapi pembagian Geertz
yang membagi kepercayaan Islam Jawa dalam tiga jenis, yaitu abangan, santri,
dan priyayi. Semula Woodword mengaku telah mengikuti teori Parsudi Suparlan
yang menyatakan bahwa orang-orang Muslim Jawa yang menekuni mistik (tradisi
dari priyayi dan abangan) disebut Islam Jawa, sedangkan orang-orang kebatinan
disebut Kejawen. Woodward mengambil
posisi meringkas ketiga bagian itu ke
dalam dua pembagian, yaitu “Islam Mistis” yang dianut oleh priyayi dan abangan
serta “Islam Normatif” yang diikuti oleh santri.
Woodward membuat tesis dengan teori bahwa menyikapi adanya
pembagian itu, yang menjadi persoalan adalah bukanlah pembagian-pembagian itu,
akan tetapi bagaimana hubungan antara bentuk-bentuk religiusitas harus
dibangun. Dari asumsi ini, Woodward
mensyaratkan adanya satu titik pandang dalam melihat perbedaan itu yang pada
akhirnya Woodward menyimpulkan bahwa titik pandang itu adalah “Islam”.
Keempat titik pokok itu dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama,
konsep tentang ke-Esa-an Tuhan. Tema ke-Esa-an Tuhan dalam Islam diyakini
sebagai doktrin utama Islam yang dikenal dengan konsep tauhid. Dalam kebatinan
Jawa, menurut Woodward, ternyata hampir semua kepercayaan bertujuan untuk
menuju bahkan menyatu dengan Tuhan.
Menurutnya, hampir tidak ada satu pun kepercayaan Jawa, termasuk pemeluk
agama Budha di Jawa, yang nyata-nyata memiliki doktrin anatta (impersonalitas
atau ketiadaan jiwa) yang tidak menerima konsep ketuhanan yang maha Esa.
Kedua, soal konsep mengenai makna lahir dan batin.
Menurut Woodward, tradisi Islam dan tradisi Jawa mengenal konsep
ini. Dalam Islam, Al-Qur'an adalah mengatur prilaku, sedangkan makna batin
Al-Qur'an adalah mistik dan pengetahuan tentang Allah. Dalam tradisi Jawa juga
dikenal istilah lahir batin, atau dengan bahasa lain disebut wadah dan “isi”.
Wadah dimaksudkan untuk menyebut hal-hal yang tampak, seperti alam,
bentuk-bentuk badan manusia, dan kesalehan normatif. Sedangkan “isi”
dimaksudkan dengan substansi persoalan, yaitu Allah, sultan, jiwa, iman, dan
mistisisme.
Ketiga, konsep mengenai hubungan antara hamba dan Gusti merupakan
titik temu ketiga. Dalam sejarah tradisi mistik Islam, sangat banyak tema yang
menyatakan hubungan antara hamba dan Tuhan, seperti ittihad, hulul dan wahdat
al-wujud. Dalam tradisi kebatinan Jawa dikenal tema sentral yang membicarakan
tentang hubungan antara hamba dan Tuhan dengan istilah jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling kawula-Gusti.
Keempat adalah soal konsep mengenai penyamaan mikrokosmos dan
makrokosmos. Dalam tradisi mistisisme Islam dikenal bahwa manusia adalah
bayangan Tuhan, manusia sebagai mikrokosmos dan Tuhan sebagai makrokosmos.
Dalam mistik Jawa, sebagai gambaran penyamaan mikrokosmos-makrokosmos, dikenal
penyamaan antara ka'bah dengan hati manusia.
Ka'bah sebagai pusat makrokosmos sama dengan hati sebagai
mikrokosmos. Dari persepsi ini, nanti dalam persepsi Jawa terdapat pemahaman
bahwa ibadah haji tidak mesti ke Mekkah, tetapi cukup dalam dirinya sendiri.
Dari keempat titik temu inilah, Woodward menyimpulkan bahwa pada
dasarnya kebatinan-kebatinan yang ada di Jawa semuanya sejalan dengan Islam.
Kesimpulan ini telah memberikan implikasi teoritis, atau bisa disebut sebagai
sumbangan pengetahuan terhadap studi Jawa, yaitu telah menawarkan paradigma
baru, walaupun barangkali pengaruhnya tidak sekuat Geertz, dalam cara
menganalisa kepercayaan-kepercayaan di Jawa.
Kritik yang muncul
menyikapi logika Woodward ini adalah tuduhan mengambil kesimpulan yang gegabah.
Paul Stange, misalnya menyatakan bahwa generalisasi Woodward ini sangat
berbahaya bagi alur logika yang benar bagi perkembangan studi di Jawa. Karena
menurut Stange, masih ada aliran kepercayaan yang ingin berdiri sendiri, atau
ingin diakui sebagai agama tersendiri seperti penganut aliran kepercayaan.
Dalam penjelasan Woodward, Islam Jawa itu adalah “Islam Mistis”.
Bersebelahan di sisi lain adalah “Islam
Normatif”. Dalam bahasa Geertz, barangkali ini yang disebut santri. ‘Islam
Normatif” adalah Islam yang memegang syariah, meski dalam konteks tertentu juga
meyakini adanya sufisme. Akan tetapi makna sufisme kalangan “Islam Normatif”
tetap dibarengi dengan syari’ah ini secara formal. Berbeda dengan kalangan
“Islam Mistis” yang kemudian disebut Islam Jawa, maka “Islam Mistis” melakukan
tafsir sendiri atas ajaran Islam.
Dari uraian Woodward itu, bahwa Islam Jawa
itu dapat dijelaskan dengan karakteristik dari dua segi: penekananannya pada
aspek batin dan melaksanakan ritus-ritus tertentu sebagai manifestasi dari
penekanan pada aspek batin ini. Selanjutnya, soal ini akan
dijelaskan di bawah ini.
Islam Jawa: Antara Aspek Batin
(Mistik) dan Ritus
Dalam hal ini Woodward
melihat bahwa Islam Jawa cenderung menekankan aspek “isi” (dalam bentuk
mistik) dari pada wadah (kesalehan normatif/syariah). Persepsi mereka tentang
yang dimaksud “isi” adalah Allah, sultan, batin, dan mistik. Sedangkan “isi”
mistik itu sendiri meliputi keberadaan wahyu, kasekten, kramat dan kesatuan mistik.
Konsep wahyu dalam perspektif Jawa sedikit berbeda dengan prototip
Arab. Wahyu dianggap sebagai substansi fisik, sering berupa cahaya benderang,
dalam konsep Jawa disebut sebagai pulung, yang menyampaikan penghormatan dan
penunjukan ilahiyah pada seseorang. Penerima wahyu diyakini memancarkan cahaya
lembut yang beremanasi dari nurani atau hati. Wahyu dipercayai berhubungan
dengan takdir, dimana ia tidak boleh
diperoleh melalui usaha-usaha pribadi atau ibadah keagamaan. Hanya Allah
sendiri yang memutuskan siapa yang akan menerimanya.
Kasekten atau kesaktian bisa diperoleh dengan melakukan tapa keras
atau dengan menyatukan roh seseorang dengan salah satu dari sumber kesaktian
dunia, seperti matahari, angin, dan gejala alam lainnya. Kesaktian dianggap sebagai
substansi, karenanya kesaktian bisa disimpan didalam diri atau disimpan pada
suatu obyek. Obyek-obyek ini kemudian sering dikenal sebagi pusaka.
Kramat (karomah) dalam persepsi orang Jawa adalah
mencirikan pencapaian religius para wali. Kramat bisa diperoleh melalui
pembersihan jiwa dan pengembangan hubungan dengan Allah. Kramat juga dianggap
sebagai salah satu pandahuluan menuju kesatuan mistik. Kramat bisa juga berarti
sebagai makam para wali atau sultan. Biasanya sebagian masyarakat berusaha
mendapatkan berkah dari para wali itu dengan menziarahi (makam) itu, yang
dianggap masih memiliki karamah.
Kesatuan mistik yang merupakan konsep puncak
Islam Jawa yang diistilahkan dengan jumbuhing kawulo-Gusti atau manunggaling
kawulo-Gusti yang memiliki konsep yang serupa dengan Ibn al-'Arabi yang
menyatakan: "saya bukanlah saya, engkau bukanlah engkau, juga engkau
bukanlah saya. Saya sekali waktu adalah saya dan
engkau, engkau sekali waktu adalah engkau dan saya." Dalam literatur Jawa,
konsep persatuan mistik ini terdapat dalam konsep-konsep perjuangan jiwa
melawan nafsu dan berhaji ke dalam hati yang diilustrasikan sangat jelas dalam
lakon wayang Dewa Ruci.
Lakon itu menceritakan pengabdian Bima kepada gurunya,
pertempuran-pertempurannya melawan raksasa yang melambangkan nafsu dan
pencariannya terhadap air kehidupan (kesatuan dengan Allah).
Untuk mengekspresikan mistik yang demikian itu, orang Jawa
memiliki ritus-ritus tertentu sebagai wadah dari mistik tersebut. Ritus-ritus
yang paling permukaan dan umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan
masyarakat adalah tradisi slametan. Ada beberapa bentuk upacara slametan antara
lain: slametan kelahiran, slametan khitanan dan perkawinan, slametan kematian,
slametan berdasarkan penaggalan, slametan desa dan slametan sela.
Woodward sampai di sini, tampak sekali ingin mengatakan bahwa
Islam Jawa adalah jenis lain dari Islam, meskipun mereka tidak melaksanakan
ritus-ritus dari kalangan Islam normatif. Berbeda dengan Geertz yang mencoba
menseparasikan varian abangan dengan santri, seakan-akan abangan bukan Islam
(meski secara tersurat Geertz menyebut abangan sebagai bagian dari Islam yang
tidak taat), maka Woodward justru menyebut abangan sebagai Islam Jawa yang juga
Islam, tetapi dengan jenis tafsir lain, bukan dalam konteks taat atau tidak
taat.
Sumber bacaan:
1. Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan
Normatif Versus Kebatinan, Terj. Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LkiS, 1999)
2. M. Murtadho, Islam Jawa; Keluar dari
Kemelut Santri vs Abangan, (Yogyakarta: Lapera, 2002)
Dokumen – Komuntias Cahaya