Select Menu

clean-5

Kabar Komunitas Cahaya

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» » » » Mark R Woodward; Keberagamaan Orang Jawa: Pandangan dalam Islam in Java



Islam Mistis dan Islam Normatif
LATAR belakang pemikiran Woodward tentang Islam dan Jawa adalah untuk menjawab pertanyaan Hodgson, yaitu kenapa Islamisasi di Jawa berjalan begitu sempurna ? Menurutnya, Islamisasi di Jawa sangat berhasil karena Islam telah dipeluk dan dijadikan agama kerajaan oleh pemerintahan keraton Mataram dan rakyatnya untuk membangun konsepsi tentang teori kenegaraan.

Dari dasar pemikiran ini, Woodward  menyusun empat ciri pokok paham Jawa yang selaras dengan paham Islam, yaitu (1) konsep tentang keesaan Tuhan; (2) konsep mengenai makna lahir dan makna batin; (3) konsep hubungan antara kawulo (hamba) dengan Gusti (Tuhan); dan (4) konsep tentang makrokosmos dan mikrokosmos. Berdasarkan keselarasan dalam keempat konsep ini Woodward sampai pada kesimpulan bahwa semua kepercayaan di Jawa berpangkal pada keempat pokok masalah ini, terlebih khusus hampir semua kepercayaan di Jawa berujung pada konsep adanya Dzat Yang Maha Tinggi, yang tidak lain Tuhan Yang Esa. Karena pijakan inilah, Woodward berkesimpulan bahwa berbagai kepercayaan di Jawa pada dasarnya adalah telaah Islam.

Muncul pertanyaan, bagaimana Woodward menyikapi pembagian Geertz yang membagi kepercayaan Islam Jawa dalam tiga jenis, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Semula Woodword mengaku telah mengikuti teori Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa orang-orang Muslim Jawa yang menekuni mistik (tradisi dari priyayi dan abangan) disebut Islam Jawa, sedangkan orang-orang kebatinan disebut Kejawen.  Woodward mengambil posisi meringkas  ketiga bagian itu ke dalam dua pembagian, yaitu “Islam Mistis” yang dianut oleh priyayi dan abangan serta “Islam Normatif” yang diikuti oleh santri.

Woodward membuat tesis dengan teori bahwa menyikapi adanya pembagian itu, yang menjadi persoalan adalah bukanlah pembagian-pembagian itu, akan tetapi bagaimana hubungan antara bentuk-bentuk religiusitas harus dibangun.   Dari asumsi ini, Woodward mensyaratkan adanya satu titik pandang dalam melihat perbedaan itu yang pada akhirnya Woodward menyimpulkan bahwa titik pandang itu adalah “Islam”.

Keempat titik pokok itu dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, konsep tentang ke-Esa-an Tuhan. Tema ke-Esa-an Tuhan dalam Islam diyakini sebagai doktrin utama Islam yang dikenal dengan konsep tauhid. Dalam kebatinan Jawa, menurut Woodward, ternyata hampir semua kepercayaan bertujuan untuk menuju bahkan menyatu dengan Tuhan.  Menurutnya, hampir tidak ada satu pun kepercayaan Jawa, termasuk pemeluk agama Budha di Jawa, yang nyata-nyata memiliki doktrin anatta (impersonalitas atau ketiadaan jiwa) yang tidak menerima konsep ketuhanan yang maha Esa.
Kedua, soal konsep mengenai makna lahir dan batin.

Menurut Woodward, tradisi Islam dan tradisi Jawa mengenal konsep ini. Dalam Islam, Al-Qur'an adalah mengatur prilaku, sedangkan makna batin Al-Qur'an adalah mistik dan pengetahuan tentang Allah. Dalam tradisi Jawa juga dikenal istilah lahir batin, atau dengan bahasa lain disebut wadah dan “isi”. Wadah dimaksudkan untuk menyebut hal-hal yang tampak, seperti alam, bentuk-bentuk badan manusia, dan kesalehan normatif. Sedangkan “isi” dimaksudkan dengan substansi persoalan, yaitu Allah, sultan, jiwa, iman, dan mistisisme.

Ketiga, konsep mengenai hubungan antara hamba dan Gusti merupakan titik temu ketiga. Dalam sejarah tradisi mistik Islam, sangat banyak tema yang menyatakan hubungan antara hamba dan Tuhan, seperti ittihad, hulul dan wahdat al-wujud. Dalam tradisi kebatinan Jawa dikenal tema sentral yang membicarakan tentang hubungan antara hamba dan Tuhan dengan istilah jumbuhing kawula Gusti,  atau manunggaling kawula-Gusti.

Keempat adalah soal konsep mengenai penyamaan mikrokosmos dan makrokosmos. Dalam tradisi mistisisme Islam dikenal bahwa manusia adalah bayangan Tuhan, manusia sebagai mikrokosmos dan Tuhan sebagai makrokosmos. Dalam mistik Jawa, sebagai gambaran penyamaan mikrokosmos-makrokosmos, dikenal penyamaan antara ka'bah dengan hati manusia.

Ka'bah sebagai pusat makrokosmos sama dengan hati sebagai mikrokosmos. Dari persepsi ini, nanti dalam persepsi Jawa terdapat pemahaman bahwa ibadah haji tidak mesti ke Mekkah, tetapi cukup dalam dirinya sendiri.

Dari keempat titik temu inilah, Woodward menyimpulkan bahwa pada dasarnya kebatinan-kebatinan yang ada di Jawa semuanya sejalan dengan Islam. Kesimpulan ini telah memberikan implikasi teoritis, atau bisa disebut sebagai sumbangan pengetahuan terhadap studi Jawa, yaitu telah menawarkan paradigma baru, walaupun barangkali pengaruhnya tidak sekuat Geertz, dalam cara menganalisa kepercayaan-kepercayaan di Jawa.

 Kritik yang muncul menyikapi logika Woodward ini adalah tuduhan mengambil kesimpulan yang gegabah. Paul Stange, misalnya menyatakan bahwa generalisasi Woodward ini sangat berbahaya bagi alur logika yang benar bagi perkembangan studi di Jawa. Karena menurut Stange, masih ada aliran kepercayaan yang ingin berdiri sendiri, atau ingin diakui sebagai agama tersendiri seperti penganut aliran kepercayaan.

Dalam penjelasan Woodward, Islam Jawa itu adalah “Islam Mistis”. Bersebelahan di sisi lain  adalah “Islam Normatif”. Dalam bahasa Geertz, barangkali ini yang disebut santri. ‘Islam Normatif” adalah Islam yang memegang syariah, meski dalam konteks tertentu juga meyakini adanya sufisme. Akan tetapi makna sufisme kalangan “Islam Normatif” tetap dibarengi dengan syari’ah ini secara formal. Berbeda dengan kalangan “Islam Mistis” yang kemudian disebut Islam Jawa, maka “Islam Mistis” melakukan tafsir sendiri atas ajaran Islam. 

Dari uraian Woodward itu, bahwa Islam Jawa itu dapat dijelaskan dengan karakteristik dari dua segi: penekananannya pada aspek batin dan melaksanakan ritus-ritus tertentu sebagai manifestasi dari penekanan pada aspek batin ini. Selanjutnya, soal ini akan dijelaskan  di bawah ini.

Islam Jawa: Antara Aspek Batin (Mistik) dan Ritus
Dalam hal ini Woodward  melihat bahwa Islam Jawa cenderung menekankan aspek “isi” (dalam bentuk mistik) dari pada wadah (kesalehan normatif/syariah). Persepsi mereka tentang yang dimaksud “isi” adalah Allah, sultan, batin, dan mistik. Sedangkan “isi” mistik itu sendiri meliputi keberadaan wahyu, kasekten, kramat dan kesatuan mistik.

Konsep wahyu dalam perspektif Jawa sedikit berbeda dengan prototip Arab. Wahyu dianggap sebagai substansi fisik, sering berupa cahaya benderang, dalam konsep Jawa disebut sebagai pulung, yang menyampaikan penghormatan dan penunjukan ilahiyah pada seseorang. Penerima wahyu diyakini memancarkan cahaya lembut yang beremanasi dari nurani atau hati. Wahyu dipercayai berhubungan dengan  takdir, dimana ia tidak boleh diperoleh melalui usaha-usaha pribadi atau ibadah keagamaan. Hanya Allah sendiri yang memutuskan siapa yang akan menerimanya.

Kasekten atau kesaktian bisa diperoleh dengan melakukan tapa keras atau dengan menyatukan roh seseorang dengan salah satu dari sumber kesaktian dunia, seperti matahari, angin, dan gejala alam lainnya. Kesaktian dianggap sebagai substansi, karenanya kesaktian bisa disimpan didalam diri atau disimpan pada suatu obyek. Obyek-obyek ini kemudian sering dikenal sebagi pusaka.

Kramat (karomah) dalam persepsi orang Jawa adalah mencirikan pencapaian religius para wali. Kramat bisa diperoleh melalui pembersihan jiwa dan pengembangan hubungan dengan Allah. Kramat juga dianggap sebagai salah satu pandahuluan menuju kesatuan mistik. Kramat bisa juga berarti sebagai makam para wali atau sultan. Biasanya sebagian masyarakat berusaha mendapatkan berkah dari para wali itu dengan menziarahi (makam) itu, yang dianggap masih memiliki karamah.

Kesatuan mistik yang merupakan konsep puncak Islam Jawa yang diistilahkan dengan jumbuhing kawulo-Gusti atau manunggaling kawulo-Gusti yang memiliki konsep yang serupa dengan Ibn al-'Arabi yang menyatakan: "saya bukanlah saya, engkau bukanlah engkau, juga engkau bukanlah saya. Saya sekali waktu adalah saya dan engkau, engkau sekali waktu adalah engkau dan saya." Dalam literatur Jawa, konsep persatuan mistik ini terdapat dalam konsep-konsep perjuangan jiwa melawan nafsu dan berhaji ke dalam hati yang diilustrasikan sangat jelas dalam lakon wayang Dewa Ruci.

Lakon itu menceritakan pengabdian Bima kepada gurunya, pertempuran-pertempurannya melawan raksasa yang melambangkan nafsu dan pencariannya terhadap air kehidupan (kesatuan dengan Allah).

Untuk mengekspresikan mistik yang demikian itu, orang Jawa memiliki ritus-ritus tertentu sebagai wadah dari mistik tersebut. Ritus-ritus yang paling permukaan dan umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat adalah tradisi slametan. Ada beberapa bentuk upacara slametan antara lain: slametan kelahiran, slametan khitanan dan perkawinan, slametan kematian, slametan berdasarkan penaggalan, slametan desa dan slametan sela.

Woodward sampai di sini, tampak sekali ingin mengatakan bahwa Islam Jawa adalah jenis lain dari Islam, meskipun mereka tidak melaksanakan ritus-ritus dari kalangan Islam normatif. Berbeda dengan Geertz yang mencoba menseparasikan varian abangan dengan santri, seakan-akan abangan bukan Islam (meski secara tersurat Geertz menyebut abangan sebagai bagian dari Islam yang tidak taat), maka Woodward justru menyebut abangan sebagai Islam Jawa yang juga Islam, tetapi dengan jenis tafsir lain, bukan dalam konteks taat atau tidak taat.

Sumber bacaan:
1. Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Terj. Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LkiS, 1999)
2. M. Murtadho, Islam Jawa; Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan, (Yogyakarta: Lapera, 2002)


Dokumen – Komuntias Cahaya

About Komunitas Cahaya

KOMUNITAS CAHAYA - RUMAH CAHAYA; Mengabdi dan Mengkaji.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Leave a Reply

Kajian