Select Menu

clean-5

Kabar Komunitas Cahaya

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» » » Moh ‘Abed Al-Jabiri; Pengertian dan Historisitas Nalar Burhani Pemikiran Tentang Epistemologi Nalar Burhani

BERBICARA tentang konsep nalar (‘aql) memang cukup menarik, dan mengundang banyak pertanyaan dan interpretatif. Mencoba untuk mengungkap misteri pemikiran al-Jabiri sebelum sampai pada genealogi historisitas awal munculnya epistemologi burhānī, baik pra Islam, masa Islam dan era sekarang. Terutama bagaimana korpus yang dibangun oleh al-Jabiri dalam memetakan epistemologi pemikiran Islam paska kodifikasi al-Qur’an (al-aşr at-tadwīn) yang dalam interpretasi al-Jabiri sebagai tonggak pemikiran Islam.

Satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa al-Jabiri memaknai term nalar (‘aql) bukan berpikir, pemikiran (al-fikr)?. Apakah ini berkolaborasi dengan klasifikasi yang dilakukan oleh orientalis dan pemikir Eropa di akhir abad yang silam dan awal-awal abad sekarang dengan istilah “nalar semitik” (atomistic, spiritual) dengan “nalar Ariya” (struktur, ilmiah)?. Barangkali ini berkorelasi dengan rahasia-rahasia yang terkandung oleh masyarakat Arab kontemporer yang berbeda dengan etnis, kultur, pemikiran dan peradaban wilayah manapun?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dipaparkan dalam fragmentasi berikut ini. Dalam pandangan al-Jabiri dua istilah di atas yakni term “nalar” dan “fikir” adalah sangat berbeda. Istilah pemikiran sama dengan ideologi. “Al-fikr” diartikan sebagai kumpulan dan produk pemikiran itu sendiri (al-fikr biwashfihi majmū’ al-afkār żātuha). Meskipun dalam istilah yang lain “al-fikr” juga bisa bermakna perangkat yang memproduksi pemikiran (al-fikr ka’adah li intāj al-fikr). Terlebih lagi, bila pemaknaan pemikiran itu dikontekskan dengan masyarakat tertentu, maka pemaknaannya menjadi bias seperti pemikiran Prancis, Arab dan sebagainya. Maka term “al-fikr” berarti pemikiran yang mengacu pada muatan dan isi pemikiran sekaligus setting sosialnya. Dengan demikian, tidaklah salah jika pemikiran dimaknai dan disinonimkan dengan istilah ideologi. Dan pembedaan dalam pemaknaan pemikiran sebagai perangkat dan produk pemikiran adalah satu keharusan atas pertimbangan metodologi.

Berbeda dengan penggunaan term “nalar” (‘aql) dan “ma’qulat”. Nalar (‘aql) diartikan sebagai kemampuan untuk mengetahui (al-quwwah al-mudrikah) sedangkan ternalar adalah makna yang diketahui (al-ma’na al mudrakah). Jika kata “nalar” (‘aql) sebagai bentuk derivasi bahasa dari kata pemikiran yang bermakna perangkat berfikir (al-fikr bi washfihi ‘adah li al-fikr) dan mengaitkan sifat “Arabic” dengan kebudayaan Arab Islam. Jika yang di maksud “nalar” adalah pemikiran sebagai perangkat berfikir dan bukan produk pemikiran, lalu apakah tidak berarti “nalar” tersebut sama sekali tidak mengandung produk pemikiran ? Tidakkah setiap perangkat pasti terstruktur dan merupakan unit?.

Maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dimana pola pikir al-Jabiri sangat dipengaruhi oleh pemikiran Andre Lalande, Levi Strauss dan Michel Foucault. Lalande mengklasifikasikan nalar menjdi dua yaitu: Pertama, nalar pembentuk atau aktif (al-‘aql al mukawwin au al-fā’il) yang dalam istilah Perancisnya dinamakan la raison constituante.

Nalar pembentuk adalah berupa aktifitas kognitif yang dilakukan oleh pikiran ketika mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan prinsip-prinsip dasar. Dengan ungkapan yang lain, nalar akti ialah naluri manusia yang dengannya ia dapat menarik asas-asas umum dan niscaya dengan berlandaskan pada pemahaman terhadap korelasi antara segala sesuatu. Seluruh manusia pada nalar aktif ini sama.

Sedangkan yang kedua, nalar dominan atau terbentuk (al-‘aql almukawwan au as sā’id) yang dalam gramatikal bahasa Perancis disebut la raison constituee. Nalar dominan adalah sekumpulan asas dan kaidah yang dijadikan pegangan dalam berargumentasi (istidlāl). Menurut Lalande, nalar ini bersifat terbentuk dan selalu berubah meskipun dalam batas-batas tertentu. Nalar ini antara satu orang dengan yang lainnya berbeda, antara satu periode dengan periode berikutnya pun berbeda.

Sedangkan nalar aktif mempunyai karakteristik untuk membedakan nalar manusia dengan
binatang yang disebut “al quwwah an-nātiqah”. Dengan begitu, kedua nalar di atas baik nalar aktif maupun nalar dominan memiliki kontribusi dan kekhasan tersendiri. Kontribusinya, dalam mempresentasikan sistem epistemologi yang akan dibangun oleh al-Jabiri, terlebih jika dikorelasikan dengan kritik nalarnya yang berkolaborasi dengan sistem, pemikiran dan peradaban bangsa Arab.

Sedangkan Levi Strauss mengungkapkan nalar pembentuk mengandaikan nalar terbentuk. Hal ini berarti aktifitas nalar aktif bisa berlangsung hanya bertitik tolak dari asas dan kaidah yang terkandung pada nalar dominan.

Dalam rangka memperjelas istilah “nalar”, penulis mencoba membandingkan dengan nalar Islam dan modernnya Arkoun. Konsep nalar dalam konteks pemahaman Arkoun diartikan sebagai cara kelompok tertentu berfikir lebih luas daripada akal yang hanya sebagai bentuk derivasi dan merupakan salah satu aspek dari nalar. Arkoun sangat mengkritik dogmatisasi, faham kejumudan dan eksklusifisme yang menutup tabir para pemikir Islam, sehingga Islam menjadi agama yang statis. Rasio memiliki kontribusi dalam pengembangan disiplin keilmuan, baik filsafat, teologi, bahasa, sosial dan tasawuf.

Berdasarkan diskursus di atas, akhirnya penulis sampai pada konklusi. Penggunaan istilah “pemikiran” (fikr) dan “nalar” (‘aql) yang mengundang perdebatan panjang dalam upaya membangun paradigma berfikir al-Jabiri tidak lain dan tidak bukan, ia tidak ingin terjebak dalam problematika epistemologi. Ia tidak ingin terjebak dalam kungkungan gramatika bahasa dan istilah tertentu yang kurang signifikan. Di sisi yang lain, term “nalar” memiliki arti yang lebih luas, kontribusi yang besar dalam mempengaruhi dan membangun paradigma berfikir di samping terhadap konstruk epistemologi al-Jabiri itu sendiri. Kritik nalar Arab sebagai concern dan sentralisasi pemikirannya dengan mengkritik pola pikir yang dilakukan oleh para pemikir Islam yang sudah mengalami pergeseran paradigma (shift of paradigm). Istilah nalar tidak hanya diartikan sebagai perangkat berfikir semata, akan tetapi ia bahkan mampu memproduksi ide dan pemikiran sebagai sumbangan terbesar bagi kemajauan Iptek. Lain halnya, dengan istilah “fikr” yang dalam penggunaan klasik dan kamus bahasa memiliki pengertian yang sangat terbatas. Pemikiran hanya ditujukan pada aktifitas berfikir semata, yang tidak mencakup produk pemikiran sebagai hasilnya.

Sedangkan kata “burhānī” dalam kitabnya Bunyah al-‘Aql al- ‘Arabi dijelaskan, bahwa kata “burhānī” secara etimologi berarti dalil sebagai penjelas sekaligus berfungsi sebagai bukti (hujjah). Secara sederhana nalar burhānī dapat diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadiyah) melalui metode deduktif (istintaj) dengan mengaitkan proposisi antara yang satu dengan proposisi yang lain untuk membuktikan kebenaran secara aksiomatik.

Maka secara terminologi, “nalar burhānī” adalah paradigma (kerangka) berfikir dengan menggunakan model metodologi berfikir secara rasio, logika dan silogisme pada proposisi-proposisinya untuk mencapai kebenaran. Jika kita melakukan genealogi historis atas prinsipprinsip
burhānī, menurut al-Jabiri, yang pertama kali membangun prinsip burhānī adalah Aristoteles (384-322 SM) yang terkenal dengan istilah metode analitik (tahlīli). Metode tahlīli yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu, baik proposisi hamliyah (categorical proposition) atau proposisi syarţiyah (hypotetical proposition) dengan mengambil sepuluh katagori sebagai obyek kajiannya; kuantitas, kualitas, ruang, tempat, waktu dan seterusnya.

Mengacu pada logika yang disampaikan oleh Aristoteles, para pemikir Islam kemudian menyerap dan mengadopsi substansi logika Aristoteles di atas. Proses pengadopsian dan transfer science dilakukan melalui program penerjemahan buku-buku filsafat pada masa al-Makmūn dan Hārun ar-Rasyīd. Penerjemahan itu harus dilakukan atas kebutuhan yang ada, saat itu banyak bermunculan doktrin yang heterodok yang datang dari India, Iran, Persi dan sebagainya. Termasuk juga munculnya
penolakan terhadap wahyu sampai pada munculnya kaum zindik. Dalam rangka menjawab serangan tersebut, dirasa perlu Islam menggunakan argumen berfikir rasional melalui argumen logika, karena model bayānī yang dibangun oleh kalangan teolog tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang kompleks.

Filosof Islam pertama yang membangun konsep metode burhānī adalah al-Kindī. Dalam buku Filsafat Pertamanya (al Falsafah al-Ūlā’), menjelaskan obyek dan kedudukan filsafat. Ia tidak senang pada orang-orang yang antipati pada filsafat yakni para pendukung bayānī (fuqahā).

Meskipun metode analitik (burhānī) yang dikumandangkan al-Kindī kurang bergema, paling tidak, ia telah memberikan kontribusi yang besar atas pondasi pemikiran filsafat hingga sekarang. Isu penciptaan alam semesta, keabadian jiwa dan pengetahuan Tuhan tentang yang partikular
masih diperdebatkan hingga sekarang. Sistem metode burhānī ini baru menggegerkan para pemikir Islam pada masa ar-Rāzī. Ar-Rāzī seorang rasionalis murni yang hanya percaya pada otoritas akal. Akal mempunyai peran dan fungsi yang besar, seluruh pengetahuan persoalan kehidupan dapat ditelusuri melalui akal. Akallah yang menjadi hakekat kemanusiaan.

Metode burhānī tersusun dan mencapai perkembanganya pada masa al-Fārābī (870-950 M). Al-Fārābī yang terkenal dengan guru filsafat paripatetik kedua (al-mu’allim aś-śānī) setelah Aristoteles yang terkenal al-mu’allim al-awwal, karena sumbangannya yang besar bagi peletakan
dasar-dasar filsafat Islam paska Aristoteles. Ia tidak hanya memakai epistemologi burhānī semata dalam filsafatnya, melainkan model burhānī ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan unggul.

Sehingga ilmu filsafat dinilai lebih tinggi kedudukanya dibandingkan dengan ilmu agama; baik teologi (kalam) dan fikih (yurisprudensi) yang tidak memakai metode burhānī. Senada juga, apa yang disampaikan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198), secara eksplisit menyatakan bahwa metode burhānī (demonstratif) dipakai kalangan elit terpelajar, metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan model retorik (khiţābī) untuk kalangan awam.

Sumber Bacaan:
Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius

Mahmūd Ayoub, Johan Hendrik Meuleman, “Nalar Islami dan Nalar Modern”, Jurnal Ulūmul Qur’an, No. 4, Vol. IV 1993, hlm. 96

Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, Al-Markāz aś-Śaqāfah al-‘Arabī, Beirut, 199

Abd. al-Mun’īm al-Hanafī, al-Mu’jam al Falsafi, Dār asy-Syarqiyyah, Kairo, 1990.

Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, Remaja Karya, Bandung, 1989


Dokumen – Komunitas Cahaya

About Redaksi

KOMUNITAS CAHAYA - RUMAH CAHAYA; Mengabdi dan Mengkaji.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Leave a Reply

Kajian