Oleh : KH. Ubaidillah
Shodaqoh *
“ lang zal ze leven... lang
zal ze leven... lang zal ze leven in de gloria.... in de
gloria.... in de gloria..... “
Lagu gembira
yang diakhiri dengan tepuk tangan riuh dalam naungan aula angker warisan
Belanda itu terekam kuat dalam memoriku. Setidaknya satu tahun sekali selama
tiga tahun di SMA, lagu itu dinyanyikan bersama pada acara ulang tahun SMA.
Uniknya dipimpin oleh sosok yang sudah sangat uzur, guru warisan didikan
Belanda yang bernama meester Susilo.
Kalimat “haqqul
yaqin, ainul yaqin“ ringan sekali meluncur dari meester guru susilo
ketika menerangkan pelajaran fisika. “Hukum Newton ketiga
mengungkapkan bahwa, aksi sama dengan reaksi. Ini sudah haqqul yaqin.“
Demikian bahasa beliau ketika menerangkan teori fisika, dan kerapkali melirik
pada bangkuku ketika berkata haqqul yaqin karena beliau tahu saya sebagai Rohis
yang sering mengurusi kegiatan keagamaan (bukan doktrinasi fundamentalis lo..).
“Aksi sama
dengan reaksi, engkau berubah Aku (Allah) merubah, engkau sembrono Aku kasih
celaka, engkau mereklamasi pantai Aku kasih ombak yang liar, engkau tebang
pohon sembarangan dan engkau kepras bukit Aku kasih banjir dan longsor.” Begitulah
maksud wahyu apabila dikontekkan dengan situasi bencana yang sering terjadi
saat ini.
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang telah
ada pada suatu kaum, ( tidak akan mengambil kenikmatan yang telah diberikan
pada suatu kaum), sehingga kaum tersebut merubah apa yang ada pada diri mereka,
(dari kebiasaan hidup yang baik menjadi kemaksiatan, kerakusan, merusak alam) .
Dan ketika Allah menghendaki keburukan (siksa) pada suatu kaum maka tidak ada
yang mampu menolaknya kecuali Allah swt”. (QS . Ar-Ra’d 11, Jalalain)
Dalil tersebut
sering digunakan terbalik oleh para penda’i dan para motifator tanpa melihat
kontek ayatnya. Mereka memahami bahwa siapa yang tidak merubah dirinya dengan
bekerja keras maka akan tetap dalam keadaan miskin, fakir dlsb..
Penggalan ayat
yang tidak utuh atau memahami ayat tanpa siaq (rangkaian kalimat dan ayat
sebelum dan sesudahnya) dan asbab al-nuzul sering membuat kesalahpahaman yang
mendasar. Barangkali dengan dalih mafhum mukholafah (pemahaman terbalik)
atau aks al-mustawa (dalam istilah mantiqnya) kita dapat memahami
ayat tersebut sebagaimana maksud para motivator, namun pemahaman selanjutnya
akan sangat rancu dan jauh dari maksud ayat tsb yaitu sebagai tanbih
(peringatan) bagi masyarakat dan penggede-penggede yang berbuat kemaksiatan,
kerusakan.
Nyiur hijau
kini tak lagi melambai-lambai, tapi mobat-mabit diterpa badai yang dahsyat.
Padipun sekarang enggan mengembang dan tak sampai menguning karena terendam
banjir yang menerjang. Tiada lagi burung yang bernyanyi gembira, tapi menangis
tak ada lagi ranting yang dihinggapi dan teracuni pestisida pada buah yang
dimakannya. Tanah airku, tumpah darahku kini telah dieksploitasi dengan rakus.
Telah dijual untuk membeli tahta, harta , wanita dan gaya hidup.
Maklum apabila
kita khawatir tidak lagi dido’akan dan ditahlilkan anak cucu kita manakala
telah berkalang tanah. Bukan karena provokasi bodoh orang yang mengharamkannya,
tapi karena mereka dendam dengan kita sebab kita telah merusak dan menghabiskan
harta yang semestinya menjadi warisan untuk mereka. Nauzubillah.
Pukolon.......pukolon.
Bumi
gonjang-ganjing kelap-kelap katon...OOOOO
Apa gerangan
yang kita makan, aspal kah, batu kah, pasir kah, atau bahkan daging-daging
simiskin yang telah kita korupsi bagiannya. Atau bahkan engkau minum darah dan
keringat para buruh yang engkau upah tanpa semestinya. Hingga keluar kelakuan
rakus yang tak terkendalikan. Kita cetak berjuta-juta mushaf al-Qur’an tapi
kitapun sombong meski mata kita rabun, membaca tanpa kacamata. Kacamata tafsir
para ulama pujangga sufi terdahulu.
Apakah kisah
negeri Saba’ telah dihapus dalam mushafmu?
Sudah hilangkah
ayat (Saba’: 15-17);
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ ,فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ
Dahulu kala,
negeri saba’ memiliki danau, yang dibangun oleh dua belas Nabi. Sungguh
makmurnya negeri ini, Seorang wanita cukup mengadahkan keranjangnya di bawah
pohon yang berbuah. Tanpa harus memetik buahnyapun memenuhi keranjang karena
sangat lebatnya. Dua kebun yang subur dialiri dari danau yang pemurah itu.
Tanaman apapun dari gandum sampai buah-buahan tumbuh subur dengan panen yang
melimpah. Taman-taman dan bunga yang mekar semerbak. Tak kurang suatu apapun
ttg rizki dan makanan kaumnya. Begitu ilustrasi dalam tafsir. Sehingga dijuluki
Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur dalam al-Qur’an. Danau tersebut
adalah danau Arim ( Sad Ma’rib, tiga marhalah dari Shon’a).
Bahkan,
nyamuk, kutu dan lalatpun tidak hidup di Saba’ karena kebersihan dan cuaca yang
sangat bagus. Namun karena mereka melanggar aturan utusan Allah Swt dengan
berbuat maksiat dan kerusakan, merubah sesembahannya menjadi matahari
(sebagaimana cerita burung Hud-hud nabi Sulaiman As) maka Allah Swt mengutus
Jaradz (semacam kutu atau belalang) untuk melobangi bendungan tersebut.
Akhirnya ambrollah bendungan itu dan memporakporandakan negeri nenek moyang
ratu nan cantik dan anggun Bilqis taklukan Nabi Sulaiman As. Tinggallah pohon
berduri dan pahit yang dapat tumbuh di negeri itu.
Woooh,
pukuluon.... pukulon. Aku ingat paparan Dr. Nilwan, ahli dan peneliti
lingkungan dari UNDIP dalam kesempatan bahtsu al-masa’il ( Pondok Pesantren Dar
al-Falakh asuhan KH. Kholil Jepara, 4 R. Awal 1435). Dia katakan bahwa, “Bukit,
hutan dan gunung dengan tanamannya adalah waduk yang paling aman untuk
menyimpan persediaan air. Jangan bangun waduk baru, sebab apabila engkau tidak
bersyukur dan uang perawatan engkau korup, maka bom waktulah yang bakal meledak
sewaktu waktu.”
Kembalilah dan
kembalilah.
Bugen,
16 R.Awal
1435.
* KH. Ubaidillah
Shodaqoh – Ketua Syuriah PBNU Jawa Tengah dan Pengasuh Pondok
Pesatren Al-Itqon Bugen
Semarang