Select Menu

clean-5

Kabar Komunitas Cahaya

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» » Newton dan Bah di Negeri Bilqis



Oleh : KH. Ubaidillah Shodaqoh *

 “ lang zal ze leven... lang zal ze leven...  lang zal ze leven in de gloria.... in de gloria.... in de gloria..... “

Lagu gembira yang diakhiri dengan tepuk tangan riuh dalam naungan aula angker warisan Belanda itu terekam kuat dalam memoriku. Setidaknya satu tahun sekali selama tiga tahun di SMA, lagu itu dinyanyikan bersama pada acara ulang tahun SMA. Uniknya dipimpin oleh sosok yang sudah sangat uzur, guru warisan didikan Belanda yang bernama meester Susilo.

Kalimat “haqqul yaqin, ainul yaqin“ ringan sekali meluncur dari meester guru susilo ketika menerangkan pelajaran fisika.  “Hukum  Newton ketiga  mengungkapkan bahwa, aksi sama dengan reaksi. Ini sudah haqqul yaqin.“  Demikian bahasa beliau ketika menerangkan teori fisika, dan kerapkali melirik pada bangkuku ketika berkata haqqul yaqin karena beliau tahu saya sebagai Rohis yang sering mengurusi kegiatan keagamaan (bukan doktrinasi fundamentalis lo..).

“Aksi sama dengan reaksi, engkau berubah Aku (Allah) merubah, engkau sembrono Aku kasih celaka, engkau mereklamasi pantai Aku kasih ombak yang liar, engkau tebang pohon sembarangan dan engkau kepras bukit  Aku kasih banjir dan longsor.” Begitulah maksud wahyu apabila dikontekkan dengan situasi bencana yang sering terjadi saat ini.
  
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang telah ada pada suatu kaum, ( tidak akan mengambil kenikmatan yang telah diberikan pada suatu kaum), sehingga kaum tersebut merubah apa yang ada pada diri mereka, (dari kebiasaan hidup yang baik menjadi kemaksiatan, kerakusan, merusak alam) . Dan ketika Allah menghendaki keburukan (siksa) pada suatu kaum maka tidak ada yang mampu menolaknya kecuali Allah swt”. (QS . Ar-Ra’d 11, Jalalain)

Dalil tersebut sering digunakan terbalik oleh para penda’i dan para motifator tanpa melihat kontek ayatnya. Mereka memahami bahwa siapa yang tidak merubah dirinya dengan bekerja keras maka akan tetap dalam keadaan miskin, fakir dlsb..

Penggalan ayat yang tidak utuh atau memahami ayat tanpa siaq (rangkaian kalimat dan ayat sebelum dan sesudahnya) dan asbab al-nuzul sering membuat kesalahpahaman yang mendasar. Barangkali dengan dalih mafhum mukholafah (pemahaman terbalik) atau aks al-mustawa (dalam istilah mantiqnya)  kita dapat memahami ayat tersebut sebagaimana maksud para motivator, namun pemahaman selanjutnya akan sangat rancu dan jauh dari maksud ayat tsb yaitu sebagai tanbih (peringatan) bagi masyarakat dan penggede-penggede yang berbuat kemaksiatan, kerusakan.

Nyiur hijau kini tak lagi melambai-lambai, tapi mobat-mabit diterpa badai yang dahsyat. Padipun sekarang enggan mengembang dan tak sampai menguning karena terendam banjir yang menerjang. Tiada lagi burung yang bernyanyi gembira, tapi menangis tak ada lagi ranting yang dihinggapi dan teracuni pestisida pada buah yang dimakannya. Tanah airku, tumpah darahku kini telah dieksploitasi dengan rakus. Telah dijual untuk membeli tahta, harta , wanita dan gaya hidup.

Maklum apabila kita khawatir tidak lagi dido’akan dan ditahlilkan anak cucu kita manakala telah berkalang tanah. Bukan karena provokasi bodoh orang yang mengharamkannya, tapi karena mereka dendam dengan kita sebab kita telah merusak dan menghabiskan harta yang semestinya menjadi warisan untuk mereka. Nauzubillah.

Pukolon.......pukolon.
Bumi gonjang-ganjing kelap-kelap katon...OOOOO
Apa gerangan yang kita makan, aspal kah, batu kah, pasir kah, atau bahkan daging-daging simiskin yang telah kita korupsi bagiannya. Atau bahkan engkau minum darah dan keringat para buruh yang engkau upah tanpa semestinya. Hingga keluar kelakuan rakus yang tak terkendalikan. Kita cetak berjuta-juta mushaf al-Qur’an tapi kitapun sombong meski mata kita rabun, membaca tanpa kacamata. Kacamata tafsir para ulama pujangga sufi terdahulu.

Apakah kisah negeri Saba’ telah dihapus dalam mushafmu?
Sudah hilangkah ayat (Saba’: 15-17);

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ ,فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ

Dahulu kala, negeri saba’ memiliki danau, yang dibangun oleh dua belas Nabi. Sungguh makmurnya negeri ini, Seorang wanita cukup mengadahkan keranjangnya di bawah pohon yang berbuah. Tanpa harus memetik buahnyapun memenuhi keranjang karena sangat lebatnya. Dua kebun yang subur dialiri dari danau yang pemurah itu. Tanaman apapun dari gandum sampai buah-buahan tumbuh subur dengan panen yang melimpah. Taman-taman dan bunga yang mekar semerbak. Tak kurang suatu apapun ttg rizki dan makanan kaumnya. Begitu ilustrasi dalam tafsir. Sehingga dijuluki Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur dalam al-Qur’an. Danau tersebut adalah danau Arim ( Sad Ma’rib, tiga marhalah dari Shon’a).

Bahkan, nyamuk, kutu dan lalatpun tidak hidup di Saba’ karena kebersihan dan cuaca yang sangat bagus. Namun karena mereka melanggar aturan utusan Allah Swt dengan berbuat maksiat dan kerusakan, merubah sesembahannya menjadi matahari (sebagaimana cerita burung Hud-hud nabi Sulaiman As) maka Allah Swt mengutus Jaradz (semacam kutu atau belalang) untuk melobangi bendungan tersebut. Akhirnya ambrollah bendungan itu dan memporakporandakan negeri nenek moyang ratu nan cantik dan anggun Bilqis taklukan Nabi Sulaiman As. Tinggallah pohon berduri dan pahit yang dapat tumbuh di negeri itu.

Woooh, pukuluon.... pukulon.  Aku ingat paparan Dr. Nilwan, ahli dan peneliti lingkungan dari UNDIP dalam kesempatan bahtsu al-masa’il ( Pondok Pesantren Dar al-Falakh asuhan KH. Kholil Jepara, 4 R. Awal 1435). Dia katakan bahwa, “Bukit, hutan dan gunung  dengan tanamannya adalah waduk yang paling aman untuk menyimpan persediaan air. Jangan bangun waduk baru, sebab apabila engkau tidak bersyukur dan uang perawatan engkau korup, maka bom waktulah yang bakal meledak sewaktu waktu.”

Kembalilah dan kembalilah.

Bugen,
16 R.Awal 1435.


* KH. Ubaidillah Shodaqoh – Ketua Syuriah PBNU Jawa Tengah dan Pengasuh Pondok Pesatren Al-Itqon Bugen Semarang

About Komunitas Cahaya

KOMUNITAS CAHAYA - RUMAH CAHAYA; Mengabdi dan Mengkaji.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Leave a Reply

Kajian